13 // Nongski

3.6K 395 2
                                    

Setelah sebulan lamanya harus lebih fokus belajar, ditemani buku-buku disetiap malamnya. Dan ulangan akhir semester pun telah usai hari ini. Ocha dapat bersantai, liburan telah menanti.

Saat ini Ocha sedang berada di Kafe R-Lova, ditemani Meyka dan Cara. Menunggu pesanan datang.

"Gue ajak Awil ke sini deh," kata Meyka.

"Engga!" larang Ocha.

"Kenapa?"

"Nanti kalau lo ajak Awil ke sini, pastinya ada si Rangga yang ikut. Males gue, gak mau." Biarkan hari ini untuk Ocha menenangkan diri, tanpa harus ada bendera perang yang mengibar.

"Heloo ciwi-ciwi," sapa Rangga dengan senyum yang mengembang.

Panjang umur pendek napas! Kenapa Rangga malah muncul tepat saat Ocha menolak keras adanya kehadiran cowok itu.

Ocha menepuk jidat, lalu menghembuskan napas berat. "Ngapain lo ada di sini sih?"

"Yee serah-serah gue lah." Rangga duduk di samping Ocha, membuat cewek itu mendorongnya agar menjauh. "Kafe, kafe gue."

"Heloow, ngarang aja lo," teriak Ocha di dekat telinga Rangga.

"Gak percaya? Oke, pesenan lo semua gak usah dibayar." Rangga berlagak, mengaku sebagai pemilik kafe.

"Serah lo serah, halu aja terus." Ocha berusaha mengabaikan Rangga, malas jika terus berdebat.

"Heh IchiOcha, ngapain lo tadi larang Mey buat ngajak gue ke kafe ini, hah?" tanya Awil yang sudah geram sedari tadi.

"Bodo amat, bosen gue liat lo bertiga," jawab Ocha sekenanya.

"Bangke bener lo. Kalau bukan sahabat bebeb Meyka, dah gue gibeng lo!" katanya menggebu-gebu, Ocha yang mendengar itu hanya mencibirkan bibirnya.

Tidak memperdulikan perdebatan yang ada, Pahlevi lebih semangat membahas perkara traktiran yang Rangga bilang sebelumnya. "Ga, gue juga dapet traktiran kan?" tanya Pahlevi penuh harap.

"Giliran traktiran paling semangat lo!" tukas Rangga, Pahlevi hanya menyengir.

"Ya harus lah. Number one," balasnya tak tahu malu.

"Number one mana sama koleksi cewek lo?" tanya Rangga yang mendapat dukungan dari Cara.

"Ya koleksi cewek gue lah," sahutnya tanpa memikirkan perasaan Cara.

"Sok kegantengan banget lo, gue aja yang kadar ketampanannya di atas rata-rata gak sombong kayak lo." Rangga bersungut.

"Itu namanya lo gak memanfaatkan ketampanan dengan sebagaimana mestinya," kata Pahlevi sok bijak.

"Karma, woi karma. Gue sumpahin tuh koleksi cewek lo pada kabur." Ocha mengeluarkan sumpah serapah.

"Santuy, masih ada Cara." Pahlevi tersenyum miring. "Ya kan, Mah?" lalu tersenyum manis menatap Cara.

"Jangan ngarep!" ketus Cara.

Makanan dan minuman pun datang memenuhi meja. Mereka berenam sibuk dengan makanannya, sesekali berbincang. Sedangkan Ocha dan Rangga sibuk bertengkar.

"Heh swiper! Kebiasaan banget lo nyuri kulit ayam punya gue," kesal Ocha, lalu menyikut cowok di sebelahnya karena sudah lancang mencuri bagian makanan favoritnya.

Cara mengernyitkan dahinya heran, mencerna perkataan Ocha barusan. "Kebiasaan?"

"Hah, apa Ra?" tanya Ocha.

"Maksud lo kebiasaan apa, Cha? Kok rada-rada aneh gitu ya," kata Cara setelah berhasil mengunyah makanannya.

"Maksudnya kebiasaan sering ngejailin gue," jawab Ocha membuat Cara hanya ber'oh ria.

Butuh waktu lima belas menit untuk mereka menghabiskan makanan utamanya dan menyisakan makanan ringan untuk menemani mengobrol bersama.

"Liburan kuy!" ajak Awil.

"Ihh ayoo," sahut Meyka penuh semangat.

"Luar negeri skuy meluncur," timpal Pahlevi.

"Kaum gratisan kayak lo ngajak ke luar negeri," sinis Cara. Ocha menggeleng-gelengkan kepalanya, sahabatnya itu selalu berucap ketus dan sinis pada Pahlevi. Tapi memang pantas cowok itu mendapatkan balasan yang belum setimpal.

"Mumpung ada gratisan kan mubazir kalau disia-siain. Tapi kalau buat liburan bareng lo sih, keluar uang berapa pun gue jabanin." Pahlevi berlagak.

"Berapa cewek yang lo giniin hah?" tanya Cara seraya memakan stik kentang keju.

Pahlevi menggerakkan jarinya seperti menghitung, lalu cowok itu menyengir tanpa dosa. "Intinya lo salah satunya lah."

"Bangsat banget emang lo." Bukan Cara, melainkan Ocha yang menyahut. Ia sangat geram dengan sahabatnya, kenapa masih bertahan dan berharap pada cowok yang tak berperikemanusiaan itu.

"Udah, udah. Urusan rumah nanti aja. Sekarang kita mau liburan ke mana nih?" tanya Awil lagi.

"Bali," saran Meyka.

"Gue gak mau ikut," tolak Ocha.

"Yah, Cha. Harus ikut dong, gak seru kalau gak ada lo," sahut Meyka tidak berseri.

"Nih pasti si semut rangrang ikut juga! Males ah gue. Nanti yang ada liburannya hancur, karena bad mood ada tuh bocah."

Rangga yang mendengar itu langsung mencubit hidung Ocha sampai merah. "Justru karena ada gue, liburan lo jadi berwarna."

"Iya, berwarna gelap!" ketusnya.

Rangga terkekeh, lalu tangannya terulur untuk mengacak rambut panjang milik Ocha. Membuatnya mendengus kesal, kalau saja tidak mengingat sekarang mereka sedang berada di tempat umum yang lagi ramai, pasti Ocha sudah menghabisinya sampai mampus.

"Ini lagi pasutri ikut-ikutan ribut teros." Awil geram, kenapa selalu ada pertengkaran tanpa memberi jeda untuk berbicara serius sebentar. Usulannya tak dianggap sedari tadi, hanya Meyka yang meladeni dengan semangat empat lima.

"Terus mau ke mana neh?" sahut Awil mulai malas.

"Puncak."

"Puncak."

Kata Ocha dan Rangga berbarengan, menimbulkan ledekan dari Meyka seorang diri.

"Oke, setuju." Awil mewakili.

"Yeay liburan." Siapa lagi kalau bukan Meyka.

Awil tidak mau mendengar penolakan. "Oke fix, lusa kita berangkat."

Pahlevi mengangguk. "Meluncuurr."

🐁🐈

Bekasi, 17Jun20.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang