Ocha berjalan cepat menyusuri koridor, sesekali tangannya mengetikan sesuatu untuk membalas pesan seseorang. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, tapi kelasnya baru keluar dikarenakan Pak Ramli, guru sejarahnya itu mendongeng sangat panjang membuatnya jenuh mendengarkan.
Ocha sebenarnya sedikit khawatir dengan Rangga, pasalnya cowok itu tengah demam. Setelah Rangga meyakinkan tidak akan terjadi apa-apa, barulah Ocha dapat sedikit lega. Lagi pula cowok itu dapat meminta bantuan pada Awil dan Pahlevi, atau bisa saja dengan anak buah Papanya. Intinya Ocha tidak dapat pulang bareng dengan cowok itu.
Masalah motornya, Ocha bisa ambil sendiri nanti malam di bengkel—yang sudah memiliki beberapa cabang itu—milik Ringgo, Abang Rangga.
"Cha?" panggil seseorang yang dapat mengalihkan perhatian Ocha dari ponselnya hingga menatap cowok itu.
Adrian, cowok yang bernotabene sebagai pentolan sekolah itu menyejajarkan langkahnya dengan Ocha.
"Ada apa?" tanya Ocha to the poin.
"Balik bareng gue yuk," ajaknya langsung.
Ocha menggaruk keningnya, ia tidak dapat menerima tawaran itu karena sudah ada janji dengan seseorang, yang sekarang tengah menunggu di depan gerbang sekolah. "Gak bisa, udah ada janjian sama orang."
"Siapa?"
"Temen," sahut Ocha singkat.
Adrian berdehem. "Kalau besok?"
Ocha menarik sebentar ujung bibirnya. "Lo tau kan, gue setiap hari bawa motor. Jadi gak usah repot-repot."
Dapat dilihat raut kecewa dari muka Adrian, cowok itu menghela napas berat. "Weekend ini gimana kalau kita jalan?"
Ocha mengusap wajah gusar, Adrian tidak pernah menyerah mengejarnya. Bahkan penolakannya secara halus pun tak membuat cowok itu peka. "Gue harus buru-buru, thanks buat tawarannya tadi."
Ocha berlari kecil. Ia meninggalkan Adrian sampai tak sempat menunggu balasan cowok itu, bahkan sampai tak menoleh ke arahnya. Ia harus cepat menemui seseorang yang sudah dirinduinya entah sejak kapan.
Kedua sudut bibir Ocha tertarik membentuk seulas senyuman saat melihat cowok itu. Lalu dengan cepat menghampirinya.
"Hai," sapa Ocha, senyumnya masih mengembang.
Cowok itu membalasnya dengan tersenyum. Membuat jantung Ocha berdetak lebih cepat.
"Yuk balik," ajaknya membuat Ocha bersungut-sungut.
Cowok itu terkekeh. "Yaudah deh, mau ke mana dulu?"
"Tempat biasa." Cowok itu mengangguk membuat Ocha tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai tempat tujuan. Mereka berjalan menyusuri taman kota yang tak pernah berubah. Serta kenangan manis yang masih terekam jelas diingatan Ocha.
Mereka berdua duduk di sebuah bangku bercat putih.
"Tunggu bentar, gue mau beli sesuatu." Ocha hanya mengangguk sambil melihat kepergian cowok itu. Lalu matanya berkeliaran menatap orang yang berlalu lalang, atau sibuk melihat anak kecil yang saling berlari mengejar.
"Es krim cokelat buat Tuan Putri," katanya membuat Ocha tersenyum geli.
Ocha mulai menikmati es krimnya. Ia sedikit gelisah untuk menanyakan satu hal yang beberapa bulan lalu mengganjal dihatinya, bahkan sampai sekarang.
"Kaf, boleh gue nanya?"
Cowok bernama Kafka itu menganggukan kepalanya.
Ocha mengigit bibir dalamnya pelan sebelum bertanya, menghilangi rasa gugup. "Lo ke mana aja beberapa bulan ini?"
Kafka diam sejenak, seperti menimbang jawaban yang tepat. Entah harus jujur atau berbohong. "Gue punya pacar, Cha."
Bagai tersambar petir di tengah bolong, seketika hatinya memanas, dugaannya selama ini tak salah. Cowok yang disukainya itu sudah mempunyai pacar.
"Tapi gue udah putus kok," lanjutnya.
"Kenapa lo milih jaga jarak dari gue? Kenapa tiba-tiba ngilang? Kenapa gak jujur aja kalau sebenernya lo udah ada pacar?" tanya Ocha bertubi-tubi.
"Sori ya, Cha."
Ocha mengangkat bahu seraya menghela napas panjang. Pertanyaannya barusan sangat terbaca bahwa ia sedang cemburu. Ocha berusaha menetralkan ekspresi dan juga perasannya. Kafka tidak boleh tahu tentang rasa sukanya.
"Gue cuma takut kalau gue ada salah, gue kira lo ngejauh karena itu."
Kafka tertawa, seolah saat dirinya menjauhi Ocha selama setengah tahun bukan masalah yang cukup serius atau berat. Tanpa cowok itu tahu, perbuatannya sudah meremukkan hati Ocha.
Ocha meninju lengan cowok itu sedikit keras, rasa kesalnya harus dilampiaskan. "Pacaran sama siapa sih emang?" tanya Ocha berpura-pura terlihat biasa saja.
Selama Kafka tiba-tiba menjauh, mereka lost contact. Ocha pernah mendatangi rumahnya tapi selalu gagal untuk bertemu cowok itu. Membuat Ocha pasrah untuk tak berusaha menemuinya lagi.
Tapi hari ini Kafka tiba-tiba menghubunginya, dan Ocha tak bisa menolak karena memang ia sangat rindu cowok itu.
"Ada, anak sekolah lo padahal."
"Oh ya? Gue kenal orangnya?" tanya Ocha penasaran. Ia sangat ingin tahu siapa cewek alay yang terakhir menjadi pacar Kafka, yang sempat melarang cowok itu menemui sahabatnya sendiri.
"Anak kelas sepuluh, lo gak bakal kenal."
Ocha mendecak. "Namanya?"
"Gladis."
Ocha berdehem panjang, namanya tak asing dipendengarannya. Ia berpikir-pikir hingga teringat ucapan Pahlevi tadi pagi, yang menyebut nama Gladis karena cewek itu memberi cokelat pada Rangga melalui Cara.
"Tau?" tanya Kafka.
"Enggak," jawab Ocha jujur, karena memang dirinya tak tahu bagaimana wujud cewek bernama Gladis itu.
"Dasar."
"Terus kenapa putus?" tanya Ocha kepo.
"Dia terlalu menuntut banyak hal. Emangnya dia kira gue mobil-mobilan remote control, apa? Yang bisa ini itu semaunya dia."
"Terus akhirnya lo balik lagi sama gue gitu? Sahabat laknat emang," sinis Ocha, masih tak terima dengan perbuatan Kafka.
"Ya sori, Cha."
"Lagian lo kenapa sih, mau aja sama bocah kayak gitu? Pake ngeiyain segala lagi buat ngejauh dari gue." Ocha masih tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Ya kan coba-coba gak ada salahnya, siapa tau cocok." Kafka menjawabnya enteng.
"Lo kira perasaan cewek mainan? Pake dicoba-coba segala," kata Ocha menggebu-gebu.
"Dari dulu gue kira lo berubah, tetep aja sama, galaknya gak nahan." Kafka tertawa geli.
Ocha mendengus sebal. Hatinya dilema, apa sekarang saatnya untuk berharap kembali pada Kafka?
🐁🐈
Bekasi, 16Jun20.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Enemy [TERBIT]
Fiksi Remaja[SEGERA TERBIT] ⚠PLAGIATOR, HUSSS ❗Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbitan "NIKAH?" tanya Rangga dan Ocha berbarengan, keduanya saling melirik satu sama lain. "ENGGAK!" bantah keduanya tegas. Apa jadinya jika partner ribut a.k.a musuh beb...