Ocha sudah rapi dengan pakaian rumahan karena baru selesai mandi pagi. Setelah tadi malam perang bantal dengan Rangga yang sangat menguras tenaga, untungnya tidurnya cukup nyenyak semalaman.
Ocha menggelengkan kepalanya saat melihat posisi tidur Rangga yang tak manusiawi, kepala yang menggantung ke bawah dengan mulut sedikit terbuka, kaki kiri yang terangkat di atas sofa, serta selimut yang hanya menutupi kaki kanannya.
Seketika ide jail terbesit dibenaknya, dengan cepat Ocha mengambil ponsel di atas nakas lalu menjepret ala tidur Rangga. Kalau para cewek SMA Cluster yang mengagumi cowok itu tahu dengan gaya tidur Rangga, pasti semuanya akan ilfeel. Tapi Ocha masih baik hati untuk tidak menyebar foto aib itu, selama Rangga juga tidak menyebar foto aibnya. Semua akan aman.
Ocha menaruh kembali ponselnya. Lalu berjalan ke arah Rangga yang masih menikmati mimpinya.
"Ga, bangun!" Tubuh Rangga digoyang-goyangkan agar terusik.
Rangga menggeliat. "Bentar, Mi."
Ocha memutar bola mata malas, sepertinya cowok itu lupa akan keberadaan dirinya. "Semut rangrang, bangun!"
"Nghh lima menit lagi."
Ocha langsung mencubit pelan perut cowok itu.
"Aw aw sakit, Mami mainnya cubit-cubitan lambung," kata Rangga dengan suara parau, matanya masih tertutup rapat seperti enggan untuk terbuka.
"Lambung dari mananya anjir," ucap Ocha bermonolog. Dengan geram dua jarinya langsung menghimpit pelan hidung cowok itu.
Napas Rangga mengap-mengap, cowok itu terpaksa membuka matanya yang langsung membulat sempurna saat melihat wajah Ocha dekat di depan wajahnya.
"Setaaannn."
Ocha melotot. Masa cewek secantik dirinya dikatai setan. Merasa tak terima, Ocha membekap mulut Rangga dengan bantal.
Rangga memberontak dari sekapan bantal, hingga akhirnya tersadar bahwa itu benar-benar Ocha sesungguhnya.
"Sana mandi!" suruh Ocha. "Bau lo."
Rangga bangun dari tidurnya, melihat Ocha yang hendak membuka pintu kamar. Tapi seketika tertahan karena Rangga memeluknya dari belakang. "Mampus lo, biar bau juga sekalian."
"Sialan." Ocha mendorong tubuh Rangga jauh-jauh, lalu mencium aroma tubuhnya takut jika bau cowok itu menempel pada bajunya. "Iuh, bau." Ocha berjalan untuk membuka laci nakas, semalam ia menaruh parfumnya di sana lalu dengan cepat menyemprotkan pada tubuhnya.
Tanpa memperdulikan Rangga, Ocha kembali melangkahkan kakinya keluar kamar dan menuruni tangga berniat untuk ke dapur, di sana ada dua perempuan yang tengah sibuk memasak.
Ocha menyapa mertuanya dan Bi Inah yang sedang memasak. Ia bingung sendiri harus berbuat apa karena tidak bisa memasak. Tapi tidak ada salahnya jika menawarkan diri untuk membantu.
"Mau Ocha bantu, Tante?" tawar Ocha ragu.
"Mami," ralat Lova. Perempuan yang terlihat awet muda itu meminta Ocha untuk memanggilnya Mami, dikarenakan statusnya sekarang adalah menantu.
"Iya, Mami maksudnya."
"Kamu bisa masak, Cha?" tanya Lova seraya menoleh sebentar ke arah Ocha, lalu melanjutkan memotong wortel.
Ocha mengusap tengkuknya, memikirkan jawaban yang tepat. "Kalau cuma motong-motong sih, bisa."
Lebih baik jujur bukan? Daripada harus berbohong, bisa gawat kalau nanti Mami mertuanya tiba-tiba minta dimasakin. Itu akan lebih memalukan.
Lova tersenyum geli. "Wajar masih muda. Tapi kalau udah punya suami harus pinter masak."
Ocha mengangguk patah-patah, masih ragu untuk hal itu, tapi ia akan coba kapan-kapan. Inget ya, kapan-kapan.
Dipikir-pikir malas juga kalau harus memasak untuk Rangga, walaupun cowok itu sekarang berstatus sebagai suaminya mereka tetap mengibarkan bendera perang, entah sampai kapan ada kata damai buat keduanya.
"Sini, biar Ocha yang gantiin, Mi." Ocha mengambil alih kerjaan Lova, masalah potong-memotong masih bisa dikerjakan olehnya.
"Rangga mana, Cha? Belum bangun?" Lova bertanya.
Ocha menganggukkan kepalanya. "Udah kok, Mi. Paling lagi mandi Rangganya."
Lova hanya menganggukkan kepalanya.
Setelah setengah jam, acara memasak pun selesai. Semua sudah terhidang di atas meja makan berukuran besar dengan kursi untuk enam orang. Padahal anggota keluarga Ardilova hanya empat orang.
Sekarang sudah ada Ocha, Rangga, Ringgo, Lova dan Ardi. Mereka semua menikmati makan pagi dengan hening, namun sesekali ada Rangga yang terus berceloteh.
"Kapan kamu mau pindah ke rumah baru?" tanya Ardi, setelah semua sudah selesai makan.
Rangga berdehem panjang, sengaja agar semua orang yang berada di ruang makan menunggu jawaban darinya.
"Rangga," tegur Lova.
Bukannya takut, Rangga malah cengengesan. "Nungguin yaa ..." Lalu cowok itu memberi jeda sebelum lanjut bicara. "Pindah lusa kayaknya."
Ardi hanya menganggukkan kepalanya.
"Kalian nanti di sana akur-akur ya, harus bersikap dewasa dan jangan saling egois," peringat Lova pada Ocha dan Rangga.
Keduanya hanya menganggukan kepala, merasa tak yakin akan akur karena mereka berdua akan tinggal satu atap. Pasti bendera perang terus mengibar, dan itu semua dimulai karena Rangga yang super menyebalkan bagi Ocha. Harapannya hanya satu, tidak ada yang saling menyakiti diantara keduanya selagi mereka menjalin hubungan sebagai suami istri.
"Gue entar nginep di sana kok, santai." Ringgo menaik turunkan kedua alisnya. Lagi pula dari Rangga maupun Ocha tidak ada yang mengajak cowok itu untuk menginap.
"Gak ada yang ngajak lo," tukas Rangga. Ia sangat tahu niat busuk Abangnya sebab semalam cowok berambut gondrong itu jelas mengintipnya dengan seenak jidat membuka pintu kamar, mengira Ocha dan Rangga sedang melakukan malam pertama.
"Gak ada yang ngajak pun, gue sukarela untuk menginap di sana beberapa minggu."
"Beberapa minggu pala lo peang, sehari pun gak bakal gue bolehin."
"Pelit amat lo, liat aja nanti rumah gue bakal lebih gede dari lo! Bahkan lebih gede juga dari rumah ini. Ya kan, Mi?" tanya Ringgo mencari pembelaan.
"Iyain aja biar cepet."
"Dasar Mami, persekutuan nih sama si Rangga." Ringgo kesal.
Tapi tak ada yang memperdulikan kekesalannya.
Ardi pun sudah berpamitan untuk berangkat ke kantor, dan Lova mengantar suaminya itu sampai depan rumah.
"Gayaan pengen punya rumah gede, jodoh aja belum ada nanti jadi bujang lapuk, mampus lo." Rangga berani berkata seperti itu karena Ardi dan Lova tidak sedang bersamanya, kalau kedua orang tuanya sampai mendengar pasti Rangga sudah diceramahi habis-habisan.
"Santai, gue kan masih milih-milih mana yang lebih wow dan pantes buat gue." Ringgo mengajukan pembelaan.
Rangga mencibirkan bibirnya. "Nyari yang kayak mana lagi coba."
"Pinter dan cantik pastinya. Oh iya, dan gak muluk-muluk pokoknya plus yang tinggi panjang semampai, langsing, putih, bening, mulus."
"Bihun?" tanya Ocha menebak.
"Bukan, tapi sohun kembarannya si bihun." Ringgo menjawab, lalu tertawa terbahak-bahak dengan lawakannya sendiri.
Rangga bergidik ngeri. "Stres lo, Bang."
🐁🐈
Sejauh ini, ceritanya bikin bosen gak sih?Soalnya sampai bab ini belum masuk konflik besar, ya.
Bekasi, 30Jun20.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Enemy [TERBIT]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] ⚠PLAGIATOR, HUSSS ❗Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbitan "NIKAH?" tanya Rangga dan Ocha berbarengan, keduanya saling melirik satu sama lain. "ENGGAK!" bantah keduanya tegas. Apa jadinya jika partner ribut a.k.a musuh beb...