41. DO.NA

2.4K 259 16
                                    


Seseorang tengah melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Dia tersenyum tengil sambil berkeliling memutari tubuh Yuna yang di ikat di kursi.

Sembari membawa pisau lipat, dia bersiul dan bersikap santai. Wajah Yuna penuh dengan luka. Tangannya berapa kali di gores oleh pisau itu.

Sungguh kejam orang yang melakukan hal tersebut. Dua minggu sudah Yuna berada di tempat kumuh dan jauh dari pemukiman penduduk. Yuna benar-benar menjadi orang yang menderita.

Dengan kasarnya, pelaku itu memukul bahu Yuna. Tetapi, Yuna tidak bangun. Dia melakukan pukulan lebih keras lagi. Akhirnya, Yuna pun terbangun dengan kondisinya yang sungguh lemah.

Cahaya lampu membuat Yuna sulit untuk membuka matanya. Tulangnya terasa remuk. Tidak bisa memberontak bahkan teriak.

Yuna tidak tahu sekarang pagi, siang atau malam hari. Tempat ini sangat tertutup, jam pun tidak ada. Hanya ada satu lampu yang menerangi tempat itu.

Pelaku meraih dagu Yuna dan menatap tajam. Pelaku tersebut sulit untuk di kenali. Karena dirinya memakai pakaian serba hitam, memakai topeng dan memakai sebuah gelang berwarna hitam.

"Nih makan!" Pelaku memberikan nasi kotak yang terdapat kentang dan nasi. Nasinya pun sudah keras. Air minum hanya segelas dan pelaku terkadang membuangnya karena senang jika Yuna menderita.

"Tangannya?" kata Yuna sambil menatap pelaku dengan mata teduh. Yuna tidak mampu mengambilnya karena tangan di ikat.

Dengan kejamnya, pelaku malah sengaja menumpahkan makanan dan berhasil membuat makanan tersebut berserakan.

"Tuh makan" titah pelaku.

Yuna menggeleng pelan menatap datar pelaku karena Yuna sudah muak dengan pelaku misterius itu. Suaranya tidak bisa dia kenali. Bahkan menatap wajahnya saja sangat buram. Yuna sama sekali tidak memakai kacamata bahkan soflens. Itu membuat penglihatannya kabur.

"Saya lebih baik tidak makan dari pada makan bareng tikus" jawab Yuna.

Pelaku malah menyodorkan pisau ke leher Yuna yang menyebabkan Yuna ketakutan. Bernafas saja susah karena nyawa Yuna terancam.

"Kamu jangan berani macem-macem. Kalo kamu berani, goresan pisau ini akan menghiasi leher dan wajah cantik kamu" dengan gerakan sensual, jantung Yuna hampir copot. Dinginnya pisau yang menempel di pipi kiri membuat nafas Yuna terhenti.

"Mau sampai kapan kamu membuat saya seperti ini? Apa kamu nggak bisa berfikir positif?" Yuna bertanya dengan hati-hati karena takut ke gores pisau.

Pelaku menggaruk lehernya sendiri dan menaruh pisau itu di pinggangnya.

"Sampai kapan yah? Mungkin sampai mati juga kamu akan tetap disini"

Yuna malah tersenyum kecil dan menunduk "Dan kamu akan bertanggung jawab atas kematian saya"

Pelaku melipat kedua tangannya di dada "Nggak akan ada yang bisa. Tempat ini jauh dari warga"

"Iya saya tahu, tapi kesengsaraan kamu dekat"

Plak

Pelaku dengan keras menampar pipi kiri Yuna sampai sudut bibirnya berdarah. Bukannya meringis, Yuna malah tertawa kecil.

"Saya sudah kebal dengan kekerasan. Sepertinya kamu sangat amatir menjadi penjahat apalagi pembunuh" kata Yuna karena dirinya sudah pasrah.

Yuna berani mengatakan hal itu karena teringat dengan seseorang, lelaki yang selalu melindunginya dari kejahatan dan kekerasan. Iya, Redo. Yuna butuh Redo. Apalagi kehadiran Redo. Mengingat Redo saja sudah membuat Yuna menjadi kuat.

DO.NA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang