👩‍🏫QNA BARENG OM WIWIEN

189 17 0
                                    

©MI CASA

Bagaimana cara menulis dialog novel agar terasa nyata/bisa membangkitkan imajinasi pembaca tentang interaksi dan suasana tokoh saat berdialog?

Note :: oleh Kak Wiwien

Dengan membuat dialog-dialog kita semirip mungkin dengan cara bicara normal dalam kehidupan keseharian.

Pintu gerbang berpikirnya dari situ dulu. Mulainya dari situ.

Nanti, pada penerapan tingkat lanjut, jika rutin berlatih, kemampuan kita akan meningkat sehingga dapat menelurkan dialog-dialog yang menarik dan bernas, termasuk dialog ala novel sastra. Namun yang penting mulainya dari situ dulu.

Latihan pertama bisa dengan merekam obrolan kita saat dengan teman-teman lalu mentranskripkannya. Nanti saat kita baca ulang transkripnya, kita akan menjumpai dialog yang natural. Setelah latihan beberapa kali, otak kita akan terus terkondisi untuk bisa membuat dialog yang selalu bisa semirip mungkin dengan cara kita bicara sehari-hari.

Latihan kedua adalah dengan menyusun daftar hal-hal tertentu yang kerap kita katakan dalam kehidupan keseharian, seperti nembak gebetan, mengabarkan sebuah berita, menanyakan sesuatu, atau bercerita. Habis itu, untuk tiap keperluan, kita pikirkan apa yang akan sungguh-sungguh kita katakan di dunia nyata.

Misal untuk nembak gebetan. Dengan "bahasa novel", hal itu biasanya akan diungkap dengan kata-kata semacam, "Aku mencintaimu, Tolkiyem. Maukah kau menjadi kekasihku?".

Apakah di dunia nyata, kita beneran nembak gebetan ldengan kalimat sesempurna itu? Belum tentu.

Bisa saja ada yang demikian, namun karena grogi, yang kita omongin mungkin cuman,

"I love you loh…"
(itupun lewat WA! WAHAHAHA).

Nah, pakai saja versi yang mungkin akan kita gunakan (atau pernah dipakai) di dunia nyata. Lakukan pilihan yang sama untuk hal-hal lain yang butuh kita lakukan lewat percakapan. Utamakan versi dunia nyata ketimbang versi bahasa seni.

Mengapa ini penting?

Karena kemampuan agar pembaca bisa relate sama konten jauh lebih penting dibanding keperluan untuk membuat pembaca takjub, kagum, dan baper akan keindahan kata-kata.

Sama sekali tak ada yang susastra dalam cara-cara Hilman Hariwijaya berkata-kata. Serial Lupus dulu ngehit karena pembaca can relate, dengan dunianya, dengan problemanya, dengan situasinya. Dan itu dibangun lewat dialog yang berupa celotehan keseharian para ABG era 1980-an.

Dialog yang mirip cara bicara sehari-hari lebih mudah pula diresapi dan diimajinasikan tanpa pengarang perlu menaruh keterangan dialog.

("tanya Siska", "kata Hendra", "Dia tertawa sambil berkata…", dan sejenisnya).

Cukup dialognya saja, seperti, "Cieee… yang lagi mikirin mantan calon pacar!"

Kita akan langsung tahu kalimat itu diomongin sambil nyengir ngeledek, karena biasanya juga kayak gitu di dunia nyata. Suasana dan jenis interaksinya akan dengan mudah bisa ikut dirasakan.

Baru setelah sanggup membetot perhatian pembaca lewat dialog yang natural, kita akan lebih gampang menapak skill nulis dialog dengan tingkat kesulitan lebih tinggi.

Beda genre young adult dengan adult romance itu apa ya?

Young adult itu pada dasarnya untuk pembaca usia 13–40 tahun, dari teenlit sampai metropop. Yang fantasi kayak Divergent dan Twilight masih masuk young adult juga. Sedang adult romance bisa saja masih masuk young adult, namun mengandung unsur adegan-adegan adult (terutama terkait seks). Atau bisa juga berarti kisah romance untuk pembaca di atas umur 40 tahun (yang tidak masuk young adult).

Bagaimana jika pemilik produk/karya sudah meninggal?

Ya tetap sama. Tak ada pengurangan jumlah sedikitpun.

Itu sebabnya anak turun William Shakespeare, Ernest Hemingway, John Lennon, Agatha Christie, atau Alfred Hitchcock dapat hidup enak bahkan tanpa bekerja sekalipun.

Pendapatan mereka sudah dicukupi para legend itu dari royalti.

Selama kita masih beli Romeo & Juliet, keluarga Shakespeare di Inggris sana masi tetap "gajian, padahal William sudah meninggal lima abad lalu.

Bayangkan kita bisa memberi itu pada anak cucu kita!

Manakah yang lebih menguntungkan bagi penulis; jual lepas naskah atau meminta royalti?

Tentu saja royalti. Ada satu faktor dalam metode pembayaran model royalti yang tak terkalahkan oleh gaji besar, tunjangan, dan uang pensiun sedahsyat apa pun, yaitu keberlangsungannya.

Selama satu produk masih terus terbeli, penghasilan dari royalti masih terus mengucur.

Pada awalnya besaran jumlah royalti mungkin tidak menggoda, namun aspek keberlangsungan itu harus dijadikan patokan utama berpikir. Dan belum terlihat besar 'kan karena baru satu naskah. Padahal 'kan hampir mustahil kita sebagai penulis hanya ingin menulis sebiji naskah tok lalu habis itu duduk-duduk melamun sampai tua!

Selain itu kerap terjadi satu jenis naskah baru menemukan masanya lama sesudah tulisan itu dibuat.

Misal kita hari ini bikin fantasi, dan baru 10 tahun lagi genre fantasi buming. Hanya karena faktor "peminat belum banyak", kita jual putus naskah ke penerbit seharga Rp 20 juta atau Rp 25 juta.

Beberapa tahun kemudian ketika tren datang, naskah kita best seller dan cetak ulang berkali-kali—tapi masih menggunakan kontrak lama (yang jual putus).

Kita hanya bisa gigit jari melihat penerbit berpesta dan kita tak kecipratan sama sekali.

So, untuk sebuah karya ekonomi kreatif, akan lebih bijak untuk bekerjasama dengan model royalti, sebab kita tak tahu zaman pada masa depan akan seperti apa.

-) Wiwien Wintaro adalah penulis di Gramedia Pustaka Utama 2007-sekarang.

Kumpulan Materi KepenulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang