🎭 • 24

286 38 12
                                    

Hai selamat datang di cerita Topeng part kedua puluh empat

Gimana kabar kalian di malam Jumat yang sepi ini?
Semoga selalu sehat ya
Seneng banget deh liat keantusiasan kalian setiap aku update part baru
Terus gitu yah hehe

Yuk langsung

SELAMAT MENIKMATI CERITA

🎭

"Gue gak bisa."

Senyum Aldi perlahan redup diikuti dengan kedua tangan yang keluar bersamaan dari saku celana. Laki-laki berambut agak berantakan itu lalu kembali berjalan menuju pembatas tanpa ada minat untuk menoleh dan tak lama suara kekehan hambar pun menggema, membuat Salsha merasa sangat bersalah.

"Aldi, gak kenapa-napa kan?" Salsha berucap sangat pelan tapi karena suasana rooftop hening, suara pelan Salsha pun tersampaikan dengan baik ke telinga Aldi.

"Munafik kalok gue bilang gue baik-baik aja, Sal." Laki-laki itu mendongak menatap langit biru yang cerah berhiaskan awan-awan kecil. Hari ini semesta seolah menertawakan nasibnya yang malang  dan yang bisa Aldi lakukan hanyalah tersenyum menerima kenyataan.

Rasa bersalah dalam diri Salsha semakin menjadi namun dia tidak bisa memaksa hatinya untuk berpindah dalam waktu singkat. Segera gadis itu menghampiri Aldi yang hendak menyalakan rokok. Dasar bandel!

Setelah merampas rokok milik Aldi dan membuang semuanya ke sudut rooftop yang gelap, Salsha kemudian menarik pelan tangan Aldi dan menuntun laki-laki itu untuk duduk di pembatas. Sementara Aldi yang sudah tidak bersemangat hanya bisa pasrah. Lenyap sudah semangat 45 nya tadi yang begitu menggebu-gebu. 

"Karena Iqbaal ya?" Aldi menoleh dan menatap Salsha dengan senyum mengejek, namun senyum tersebut bukan untuk Salsha melainkan untuk dirinya sendiri.

Salsha bungkam, karena apa yang Aldi ucapkan tak sepenuhnya salah. Iqbaal merupakan satu dari banyaknya alasan yang ingin Salsha utarakan. Namun lidahnya begitu kelu untuk sekedar memberi laki-laki di sebelahnya penjelasan lengkap. Sementara Aldi yang melihat Salsha bungkam kembali terkekeh miris dan tanpa diduga, laki-laki itu malah menjulurkan tangan dan mengacak lembut rambut coklat Salsha. Salsha terpaku dibuatnya.

"Sedih sih, tapi gak papa lah. Namanya juga perasaan, gak ada yang bisa atur. Kalok dipikir-pikir lucu ya."

Salsha terus menatap kedua iris mata Aldi yang kini menatap lurus ke depan dengan tangan yang masih bertengger di puncak kepalanya. 

"Dulu, gue benci banget sama lo. Dari MOS bahkan. Lo tau kenapa?" Laki-laki menoleh dan menatap dua iris indah Salsha yang sampai sekarang masih setia menatapnya sambil sesekali berkedip lucu.

"Kenapa?"

"Karena lo disanjung terus sama Kakak OSIS, nama lo selalu gue dengar dimana-mana dan lo juga jadi ratu MOS waktu itu. Padahal gue udah berusaha sekuat tenaga biar gue juga bisa jadi kayak lo, tapi nyatanya gak bisa. Mulai dari situ gue berusaha aktif di sekolah supaya bisa mengalahkan kepopuleran lo. Lo bisa ketawa karena gue terkesan haus akan kepopuleran, karena itu benar." Aldi memalingkan tatapannya dari Salsha menuju ke bawah, dimana masih banyak siswa yang berkeliaran baik itu di lapangan maupun di kantin.

"Sampai akhirnya gue mendapat posisi yang gue mau selama ini, ketua OSIS. Tapi yang namanya manusia tidak akan pernah merasa puas. Setelah mendapat gelar ketua OSIS pun gue masih terus iri sama lo yang malah semakin populer. Bahkan muncul lagi beberapa siswa baru yang namanya melejit, seperti Iqbaal dan Sasya."

"Dulu gue benci banget sama sahabat gue itu karena selalu disanjung sama semua cewek termasuk kelas 12. Pokoknya dulu gue adalah pribadi yang penuh dengan rasa iri dan dengki tapi entah kenapa saat gue liat lo tertunduk waktu nabrak gue pertama kali, gue merasa sedikit bersalah. Karena menjadi populer jelas bukan salah lo dan lo gak seharusnya gue benci." Laki-laki itu kembali menatap Salsha yang sejak tadi memilih diam dan mendengarkan.

TOPENG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang