☁️ Keceplosan ☁️

636 150 6
                                    

"Dek, main sama Haruto sana."

Dahyun mendelik saat mendengar suruhan Yein. "Gamau!"

"Kenapa? Dia kan anak aktor famous. Biar kecipratan sultan juga kita."

Sebenarnya, kakak-beradik satu ini juga hidup bergelimang harta. Tapi, ya, memang keluarga Chiba itu lain sendiri levelnya.

Dahyun melirik ke arah Haruto yang kini sedang berjalan menuju mesin basket, menghampiri Yeji dan Nako yang daritadi sibuk bermain tanpa henti sampai bercucuran keringat.

"Buruaaan." Yein mendorong tubuh Dahyun pelan. Entah atas dasar apa, gadis muda itu pun benar-benar melangkah mendekati si kakak tiang cuek.

"Mau main ini, Kak?"

Aaaah, Dahyun merutuk dalam hati. Mulutnya malah bertingkah sebelum sempat berdiskusi terlebih dahulu dengan otak.

Haruto menoleh, lalu mengangguk. "Mau bareng?"

Dahyun tercekat. Sudut matanya dapat melihat Yein yang tersenyum penuh arti sambil meletakkan tangan di pinggang.

"Boleh."

Haruto menggesekkan powercard Timezone miliknya ke mesin, lalu mereka menunggu bola turun dan melemparkannya ke ring.

"Liat noh si Haru," bisik Yeji, sempat mendengar percakapan Haruto dan Dahyun yang berdiri di sebelahnya.

Nako menengok sebentar, setelah itu kembali melanjutkan permainan. "Iya, Ji. Emang Haru akhir-akhir ini udah mulai bucin."

Haruto yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas sambil menahan malu.

"Oh iya, kemaren katanya Kakak pengen ngomong sesuatu. Kira-kira apa, ya?"

Duakk

Bola yang dilempar Haruto terpental, gagal memasuki ring-sebenarnya dari tadi memang hanya segelintir yang sukses masuk, tetapi lemparan kali ini benar-benar hilang kendali.

"Ga, Abang gue ngomong asal doang." Haruto memungut bola basket yang nyasar ke lantai Timezone itu sambil berusaha mengatur ekspresi.

Dahyun mengangguk paham, lalu fokus ke bola di tangannya lagi. "Ngomong-ngomong, makasih udah ngajak saya dan kakak saya ke sini," katanya dengan mata yang terarah ke depan atas.

"Ya ... btw, bicaranya biasa aja. Gue bukan presiden."

"Tapi ini udah biasa, kok?" Dahyun menoleh ke samping, bingung. "Oh, karena pakai 'saya'?" lanjutnya setelah mengerti.

Padahal, waktu itu Haruto sudah pernah membahas tentang ini. Namun, Dahyun selalu otomatis menggunakan bahasa sopan karena tatapan Haruto sedikit (sangat) mengintimidasi dan membuatnya takut.

"Hm, iya."

Dahyun mengangguk lagi. "Sip, mulai sekarang aku akan bicara santai ke Kakak."

"Gitu dong." Haruto tersenyum singkat dan mengakhiri satu menit permainan basket mereka dengan lemparan yang sempurna, memasukkan satu bola ke dalam ring. "Gausah panggil Kakak juga, Haru aja."

"Jangan Haru, Bahar aja biar lebih lokal." Tahu-tahu, Asahi bersuara dari belakang mereka.

"APASI, KAGET" Haruto refleks menjauh.

"Gitu doang kaget," ejek Asahi, lalu bergeser ke belakang Yeji dan Nako untuk menonton permainan mereka yang sudah kesekian kalinya.

"Yah, saldonya habis," keluh Nako setelah menggesek kartu.

Yeji langsung mencari keberadaan Yoshinori. "Tuh, abang lo di pojokan sama Cio. Minta isiin sana," katanya setelah berhasil menemukan keberadaan di sulung Chiba.

Nako mengangguk. "Tiketnya jangan dicabut dulu, ya! Biar panjaaaaang banget!" Ia berpesan sebelum lari ke arah Yoshinori.

Yeji membentuk tanda ok dengan tangannya.

"Saldo lo habis juga?" tanya Asahi.

"Iya, habis di mainan ini."

"Keliatan, kok," sahut Asahi, memandangi tiket mereka yang panjangnya minta ampun.

"Sini, gue bantu main sekali." Lelaki berdarah Jepang itu pun menggunakan powercardnya untuk memulai permainan baru.

Sebagai lelaki yang memang menyukai basket, tentu saja Asahi berhasil membuat Yeji terpukau dengan scorenya. Barisan tiket keluar dari mesin dalam waktu cukup lama.

Yeji menepuk tangannya sambil tersenyum senang. "Keren banget, Hi."

Asahi langsung memasang muka bangga sambil menyisir rambut ke belakang dengan jari-jari tangan. "Tiketnya buat lo berdua."

"Cuih, sok kegantengan. Gayanya selangit, bikin mual," celetuk Haruto sambil berlagak tak tahu-menahu dari samping Asahi.

"Iri aja lo Jepang," balas Asahi acuh.

"Jepang teriak Jepang."

"Bacot banget kalian, udahan deh." Yeji mendengus.

Dahyun menatap Haruto lalu Asahi bergantian, ikut bingung dan ingin memisahkan mereka berdua. "Ha-Haru, mau main capit boneka?"

"Dih?" Haruto mengerutkan dahi. "Ayo."

"Yang sok kegantengan sekarang siapa, babi?" Asahi berseru puas. Sambil berjalan menjauh, diam-diam Haruto memberikan jari tengah tak sampai satu detik. Ini kalau Nako tahu, bisa-bisa ia diceramahi tujuh hari tujuh malam.

"Ji, tahan gue." Asahi mulai mendrama.

"Hah, napa lo?"

"Pengen gue sleding banget si Bahar."

Yeji menggeleng dan memilih untuk menunggu Nako kembali dari usahanya mengemis saldo powercard Timezone ke Yoshinori dibanding menanggapi drama Asahi.

Di sisi lain, Nako kini sudah berjalan menuju kasir Timezone bersama Yoshinori yang sedang bersenandung. "Kenapa, Bang? Kok keliatannya happy?"

"Emang Abang gaboleh seneng?"

"Ih, baperan." Nako memutar mata.

Yoshinori tertawa, kemudian membalas, "Enggak. Mood Abang lagi bagus aja."

"Dan sebab dari bagusnya mood Abang adalah ...?" pancing Nako.

"Tiba-tiba Abang ngerasa populer, Na. Apa selama ini emang populer, ya?"

Kalau dibilang populer, sih ... ya kenyataannya memanglah begitu. Siapa sih, yang tidak tertarik pada lelaki tampan plus kaya plus anak aktor berdarah Jepang?

Tapi tetap saja, mendengar ucapan seperti itu langsung dari mulut sang abang membuat Nako memasang wajah jijik.

"Mukanya kenapa gitu? Abang sentil dahi kamu, mau?" tanya Yoshinori tersinggung.

"Enggak."

Yoshinori tiba-tiba menoleh bersemangat. "Kamu ingat Hitomi, kan?"

"Ingat dong, kan gebetannya Cio."













"Hah?"

"Eh, aduh, keceplosan." Nako menutup mulutnya menggunakan tangan -panik.

Whimsical SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang