"Abang berangkat, ya. Kamu jangan nakal ke Nana, Cio, sama Papah. Jagain mereka baik-baik."
Haruto mendelik saat Yoshinori berpesan demikian sambil menarik kopernya ke teras. Haruto segera berlari kecil menyusul sang abang. Di depan teras, sudah terparkir sebuah mobil hitam dengan Pak Kyuhyun yang duduk di kursi pengemudi.
"Huhuhuhuhuhuuhuhu"
Haruto menoleh ke samping. Ada Nako yang menangis dengan sapu tangan yang ditempelkan ke ujung mata, Mashiho menunduk ke bawah sambil menepuk bahu kembarannya itu, sedangkan Papah melambaikan tangan ke Yoshinori yang sudah masuk ke mobil dari atas kursi teras.
"KOK CEPAT BANGET?" teriak Haruto, masih bingung dengan semua hal yang sedang berlangsung. Namun, tak ada yang menjawab pertanyaannya. Mobil itu justru bergerak menjauh, semakin mengecil dan akhirnya menghilang dari pandangan. Mashiho dan Nako segera membantu Yudai untuk berpindah ke kursi roda dan bersama-sama memasuki rumah. Baru saja Haruto ingin mengekor dengan sejuta tanda tanya, tiba-tiba lengan bajunya ditahan oleh seseorang yang baru datang.
"Kak."
Haruto membalikkan tubuh, mendapati Dahyun tengah menatap sedih ke arahnya seraya menarik tangan pemuda itu dan meletakkan bungkusan kue kering di atas telapaknya. "Saya mau pindah rumah. Ini cookies buatan saya, kenang-kenangan terakhir buat Kakak."
Apakah dunia sedang bercanda?
Belum sempat Haruto membalas ucapan itu, Dahyun malah berlari meninggalkannya. Pria bertubuh jangkung tersebut lantas mengacak rambut frustasi. Apakah seharusnya ia menahan Dahyun? Apa perlu dikejar? Ah, tapi kenapa pula ia mesti melakukannya? Tidak penting, Dahyun kan bukan siapa-siapa.
Aduh, pusing.
Woah oh
YeahNeon machi beautiful danger
Chyeodabol su eopseo
Neomu nunbusin hal-"Halo?" Haruto segera mengangkat panggilan yang masuk dari Wonyoung. Tumben juga sebenarnya dia repot-repot menanggapi gadis manja satu itu.
"To, maaf ya selama ini Wony ngerepotin Ruto. Maaf juga Wony gak sempat ngucapin ini langsung karena buru-buru. Mulai hari ini, Wony bakal pindah sekolah, pindah kota juga."
"Lo-"
"Itu aja, To. Bye bye hiks."
Panggilan diputuskan.
Haruto menatap layar ponsel dengan raut yang tidak bisa dijelaskan. Ada apa sih, sebenarnya? Kenapa semua orang mendadak pergi? Apakah dia sedang kena prank? Haruto menatap sana-sini, mencari keberadaan kamera yang merekam. Nihil.
Beberapa saat kemudian, tampak dua orang laki-laki berjalan mendekatinya. Semakin dekat, membuat Haruto jadi mengenali sosok mereka. Sepasang kakak adik yang merupakan saudara sepupunya.
"Ru, mulai hari ini, kami tinggal di sini buat temenin kamu," kata salah satu dafi mereka dengan enteng, lalu masuk ke dalam sambil bersenandung nyaring. Haruto melongo.
Dunia semakin bercanda ketika tahu-tahu Nako dan Mashiho kembali ke teras sambil membawa beberapa koper dan tas.
"... mau ke mana?" tanya Haruto pelan.
"Kami mutusin buat nyusul Abang Oci. Kamu di sini aja, jaga Papah sama rumah, ya?"
Setelah Nako berucap, Haruto membentuk sebuah perahu terbalik menggunakan bibirnya.
"Ru? Kok nangis, sih?" Nako mengerutkan dahi. Haruto yang tadinya tidak ada niatan untuk menangis, akhirnya malah menangis ketika mendengar itu.
"Haru?"
"Haru!"
"HARU!"
"HARUU!"
"Hah" Haruto sontak terbangun. Jantungnya berdegub kencang, dahinya berkeringatan, nafas tak teratur, serta pandangan yang tak jelas mengarah ke mana.
"Mimpiin apa? Serem bang- EH, KAMU NANGIS??!" Nako segera meletakkan punggung tangannya ke permukaan dahi Haruto. Panas sekali. Tampaknya si bungsu sedang demam.
"Mbak, jangan tinggalin aku sendirian," mohon Haruto sambil menahan tangan Nako yang hendak berlari keluar dari kamarnya.
"Mbak mau ambil kompres dulu," balas Nako, berusaha melepaskan genggaman erat Haruto.
"Gak mau, nanti Mbak sama Bang Cio malah berangkat ke Jepang!"
Nako behenti bergerak dan menahan tawanya. "Ngapain juga Mbak ke Jepang?"
"Mbak kan mau nyusul Bang Oci! Terus aku ditinggal sama Papah di sini! Dan Dahyun-" Haruto seketika menghentikan ucapan.
Nako akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang karena adiknya itu tak kunjung melepaskan genggaman dari lengannya. "Ru, kamu ngelindur. Lap dulu air matanya." Nako meraih selembar tisu dari atas nakas yang terletak si sebelah ranjang dan menyodorkannya ke Haruto.
"Aku mau empat lembar."
"Buat apa, sih? Kamu kalo sakit gini jadi enggak jelas." Nako akhirnya mengambil beberapa tisu lagi dan memberikannya ke Haruto.
"Kamu istirahat aja, gausah masuk sekolah hari ini. Mbak panggilin bibi buat ngompres kamu, ya. Sekalian mau siap-siap juga nih, Mbak." Nako segera berdiri dan berjalan ke luar saat Haruto melepaskan tangannya untuk menyeka cairan bening yang entah kenapa masih turun dari balik kelopak mata. Sungguh, ini adalah pemandangan yang cukup langka bahkan untuk Nako sekali pun. Sebenarnya gadis mungil itu ingin merekam tingkah manja Haruto, tapi ya kasihan juga.
Sementara itu, Haruto yang perlahan bisa mengumpulkan kesadarannya pun hanya bisa diam sambil melempar gumpalan tisu bekas air mata itu ke dalam tempat sampah di samping nakas. Seperti yang bisa ditebak, tidak masuk.
Ternyata cuma mimpi.
Haruto mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar, lalu fokus ke pintu yang dibuka dari luar. Seorang ART masuk sambil membawa baskom kecil.
"Permisi, tadi Mbak Nana minta tolong saya untuk kompres kening Masnya."
"I-iya, silahkan."
Kembali berbaring, Haruto menatap langit-langit kamarnya dengan tenang. Kepalanya masih terasa sedikit pusing, tetapi setidaknya ia sudah bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan dengan baik. Baru sekarang ia merasa malu sudah menangis di depan Nako sambil memohon-mohon supaya Mbaknya itu tidak pergi.
Hadeh, mau ditaruh ke mana wajahnya.
Kalian tim Haru X Wony apa Haru X Dahyun nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Siblings
FanficYoshinori, Mashiho, Nako, serta Haruto. Empat bersaudara sengklek yang hidupnya normal-normal ajaib. Dan ini adalah kisah pendek mereka.