☁️ Sebenarnya ☁️

786 161 20
                                    

Yudai tertawa ketika melihat Mashiho dan Haruto sibuk mengangkut peralatan makan ke dalam kamarnya, kemudian menyusun benda-benda itu di atas meja yang mereka tarik dari sudut ruangan.

"Semua makan di sini?" tanyanya.

Mashiho mengangguk semangat. "Iya! Kita makan bareng, Pah!"

Tak lama, Yoshinori masuk sambil menarik dua buah kursi. Nako melakukan hal serupa beberapa saat kemudian.

"Papah makannya di atas ranjang aja. Bentar, Cio ambilin meja lipatnya," kata Mashiho, bergerak mengambil barang yang ia maksud dari dalam rak lemari besar.

"Banyak banget masakannya." Yudai menatap kagum. "Keliatannya enak semua."

"Iya dong, anak Chiba gitu loh." Haruto menyilangkan tangan di dada dengan bangga.

Untuk pertama kali sejak beberapa minggu Yudai meninggalkan rumah, kelimanya menikmati makan siang bersama. Sangat mengharukan. Sekilas terbesit bayangan jika dia tak selamat dari kecelakaan saat itu dan membuatnya tak dapat menikmati waktu bersama keempat anaknya lagi.

"Widiih, jus semangka! Niat bener kalian nyenengin Papah," seru Yudai saat Haruto menyodorkan segelas penuh jus semangka kepadanya.

"Harus. Kita kan seneng banget Papah pulang," balas Nako sambil tersenyum ceria.

Makan siang yang betul-betul membahagiakan. Makan enak dengan orang-orang tersayang. Tidak ada yang lebih nikmat dibandingkan hal ini.

Ketika aktivitas makan siang itu usai, Yoshinori, Mashiho, Nako, serta Haruto mulai bolak-balik dapur-kamar Yudai untuk mengembalikan barang-barang sekaligus membersihkan peralatan makan yang telah digunakan.

Siang berganti senja, kemudian beralih lagi menjadi malam. Mashiho berbaring di ranjangnya sambil memainkan permainan ponsel.

"Cio."

Nako membuka pintu kamar dengan tangan yang memeluk erat bantal, guling, serta boneka-bonekanya.

"Ya?" respon Mashiho tanpa menoleh.

Nako naik ke ranjang Mashiho, ikut berbaring di sebelahnya sembari ikut menonton permainan kembarannya itu.

"Aku mau ngobrolin sesuatu, tapi nanti aja, tunggu kamu udah kelar mainnya."

Mashiho menoleh sekilas, lalu mengangguk. "Sebentar, dikit lagi menang."

Nako mengiyakan.

Tak seperti yang diucapkan Mashiho, permainan itu berlangsung cukup lama. Saking bosannya, Nako jadi hampir tertidur. Suara Mashiho segera mengembalikan kesadaran Nako yang benar-benar nyaris terlelap.

"Mau ngomongin apa?"

"Oh iya." Nako mengambil lipatan selimut dari ujung ranjang Mashiho dan membentangkannya di atas tubuh mereka, siapa tahu selesai cerita bisa langsung tidur dengan nyaman.

"Abang Oci ... akhir-akhir ini menurut kamu, dia sedikit aneh gak?"

"Biasa aja, sih. Kenapa, Na?" Mashiho balik bertanya.

Nako mengatupkan bibir. "Enggggg masa yaaaa, tadi siang dia tuh ngomongnya seakan-akan kayak orang mau ............... Astaghfirullah! Enggak, enggak!" Cepat-cepat gadis itu menggeleng kuat.

Mashiho yang paham dengan ucapan Nako hanya diam sebentar, mencoba untuk tidak berpikir aneh-aneh. "Oh, palingan lagi ngedrama aja tuh Si Abang. Kamu kan tau dia tuh kadang kata-katanya lebay banget macam anak gadis."

"Bukan deh, Cio. Mata Abang kayak sedih gitu."

"Terus menurut kamu Abang kenapa?"

"Gatauuuuu. Aku enggak mau nebak, takut entar malah jadi doa. Tapi ... Abang lagi gak sakit apa-apa, kan?"

Whimsical SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang