☁️ Hospital 1 ☁️

933 175 4
                                    

"BANG, PELAN-PELAN!"

Haruto berteriak sambil membaca semua doa keselamatan yang diketahuinya. Sungguh, menaiki mobil yang dikendarai oleh Yoshinori dalam kecepatan tinggi adalah hal terakhir yang ingin kau coba dalam hidupmu.

"Cio, kamu berdoa ya, supaya Papah baik-baik aja." Nako merangkul Mashiho, menahan tangisnya sendiri.

"Iya, Na."

"Berdoa untuk keselamatan kita juga."

"ADA ORANG! BANG, MINGGIR!" Haruto mengacak rambut, tak bisa berhenti menjerit. Dia memang merasa panik, terkejut, dan sedih atas berita kecelakaan sang papah, serta ingin cepat-cepat melihat keadaannya.

TAPI, bagaimana pun juga, mereka harus tetap hidup.

"BANG! ADA KUCING OREN!"

"Bismillah ..." gumam Yoshinori yang tiba-tiba ingat Tuhan.

"Bang, please! Jangan sampai kita kecelakaan jug- AHH, ITU NENEK-NENEK LAGI NYEBRANG! JANGAN DITABRAK!"

Haruto mengeratkan tangannya pada pegangan di atas kiri kepalanya. Yang benar saja! Mereka mau ke rumah sakit untuk menjenguk papah, bukan ikut-ikutan dirawat.

Setelah sampai di parkiran rumah sakit, mereka semua keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam bangunan berwarna putih itu, menuju UGD.

Melihat kegaduhan yang ditimbulkan oleh keempat saudara Jepang tersebut, seorang suster berjalan ke arah mereka.

"Maaf, untuk saat ini tidak ada yang boleh memasuki ruangan selain dokter, perawat, dan pasien."

"Saya anak dari korban kecelakaan mobil pukul delapan." Yoshinori mengatur nafas, memegangi lututnya di depan pintu ruang UGD. "Kecelakaan, tertabrak mobil."

"Pasien atas nama Chiba Yudai?"

Mereka berempat mengangguk bersamaan.

"Beliau sedang berada di ruang operasi," jawab sang suster, lalu menatap keempatnya. "Apa ada anggota keluarga yang bisa dihubungi?"

Yoshinori menelan ludah. Mashiho dan Nako saling bertatapan, lalu Haruto melirik sekilas ke arah kakak sulung mereka.

"Ada. Sebentar, saya hubungi." Yoshinori akhirnya memberikan jawaban sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Kalau begitu, untuk sekarang diharapkan salah satu dari kalian ikut saya untuk mengurus beberapa hal."

Yoshino mengajukan diri, kemudian menyuruh adik-adiknya untuk menunggu.

Mashiho, Nako, dan Haruto menurut dengan duduk di kursi panjang yang terletak beberapa meter di depan ruang UGD.

Sekitar tiga puluh menit mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, tak bersuara.

Rumah sakit tak begitu ramai pagi ini, khususnya di area Unit Gawat Darurat. Hanya ada beberapa suster berlalu-lalang dengan segala kepentingannya.

"Ruang operasi itu di mana?" tanya Haruto, meneguk air mineral yang dibawanya sedari tadi. Tenggorokannya jadi sakit sekali usai dipakai berteriak di mobil tadi.

"Di sini ada dua ruang operasi. Yang satu ada di dalam UGD, yang satu di sebelah ruang ICU," tutur Nako. "Jadi, sekarang Papah ada di dalam UGD."

"Papah gimana, ya ...." Tak menghiraukan percakapan mereka, Mashiho menundukkan kepala, berdoa agar papahnya itu tak kenapa-napa.

Nako terdiam, ingin memeluk sang kembaran, tapi terhalang oleh Haruto yang duduk di antara mereka. "Papah pasti baik-baik aja. Papah orang yang kuat."

Mashiho mengangguk pelan. "Aamiin."

Haruto menutup botol air mineralnya. Di detik selanjutnya, ia merangkul dua kakak mungilnya itu, sambil sesekali menepuk pundak mereka.

"Iya, Papah kuat. Mbak sama Abang harus percaya sama papah."

Tak lama kemudian, Yoshinori kembali dengan langkah tergesa-gesa.

"Sudah beres, Bang?" tanya Haruto.

"Gak tau. Tadi Tante datang, gantiin Abang ngurus di sana." Yoshinori duduk di sebelah Mashiho. Dia melepas jaket, mengusap wajahnya yang penuh keringat dengan kasar.

Haruto makin mengeratkan rangkulannya pada Mashiho dan Nako. "Duh ..." gumamnya resah.

"Kalian tunggu di tempat lain aja. Tante Rino pasti bakal ke sini," suruh Yoshinori, masih memegangi rambutnya. "Biar Abang yang hadapin."

Haruto mengangguk, kemudian menarik tangan si kembar, membawa mereka menuju taman rumah sakit.

"Bang Oci ..." ucap Nako pelan. "Aku gak tega dia kena semprot Tante."

"Orang itu seharusnya ga ada hak untuk marah-marah," timpal Haruto. "Kalau dia waras."

"Kamu tau, kan, Tante itu hobi nyari kesalahan kita."

Mereka pun duduk di salah satu kursi panjang di pinggir taman rumah sakit.

"Atau aku nyusul ke sana aja kali, ya?" Haruto mengusulkan.

"Gak usah, Ru. Nanti masalahnya malah nambah jadi kalau kamu ikut-ikutan," tahan Mashiho, akhirnya bersuara setelah lama berdiam memikirkan papahnya.

"Lagian Tante kenapa begitu banget sama kita, sih," kata Nako pelan.

"Udah, Mbak, jangan dipikirin. Kita berdoa aja supaya Papah gak kenapa-napa."

Whimsical SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang