"Cio???"
Nako mengerjapkan mata ketika melihat Mashiho pulang sambil menggendong seekor makhluk hitam di tangannya.
"Kamu ngapain?" Nako menyingkirkan selimut tebal yang melapisi tubuh, lalu bangkit dari sofa dan berjalan mendekati kembarannya itu.
Karena merasa sedikit tak enak badan, Nako memutuskan untuk izin tidak mengikuti latihan padus untuk hari ini.
"Ceritanya panjang, Na," jawab Mashiho, menghela nafas, sebenarnya ikut bingung pada dirinya sendiri. Ia melepas sepatu dan meletakkannya dengan rapi di dalam rak, lalu menurunkan seekor kucing hitam yang tampak asing dengan suasana rumah Chiba.
"Jangan tanya Abang," kata Yoshinori, angkat tangan dari situasi ini.
Setelah mengganti baju, Mashiho kembali turun ke bawah, bergabung bersama Haruto dan Nako yang sibuk memerhatikan tingkah si kucing.
"Jadi, ceritanya bagaimana?" Nako menoleh ke Mashiho. Tangannya memegangi selimut yang kembali membungkus tubuh. "Kok tiba-tiba? Kamu kan enggak terlalu suka kucing?"
"Biar kutebak, kayaknya Bang Cio terperdaya cewek." Haruto ikut menatap Mashiho, menunggu respon yang akan diberikan dari kakaknya itu.
Melihat Mashiho yang diam tak menjawab, Haruto memasang senyum kemenangan dan berucap pada Nako, "see?"
"Bukan begitu. Denger dulu, ya." Mashiho berdecak, kemudian ikut duduk di atas ambal dan mengalihkan pandangan ke kucing.
"Jadi begini ...."
"Cio, habis ini mau langsung pulang?" Jeongin bertanya sambil mengemas tasnya. Latihan paduan suara baru saja selesai, dan mereka tampaknya sedang bersiap untuk meninggalkan sekolah.
"Hmm, duluan aja. Ada yang mau aku urus," jawab Mashiho.
Begitu keluar dari gedung, ia berlari kecil menuju semak-semak. Apalagi setelah mendapat pesan dari Yoshinori untuk bergegas. Abangnya itu sedang menunggu di ruang UKS sambil rebahan di ranjang dan asyik berbincang dengan anggota-anggota PMR yang tak lain dan bukan adalah para siswi cantik yang kebetulan baru saja selesai melaksanakan latihan rutin.
Mashiho masuk ke dalam dedaunan hijau itu, meraih sebuah mangkok kecil dan mengisinya dengan makanan kering kucing yang dia beli beberapa hari lalu.
Selagi mencari keberadaan si kucing hitam, sepasang kaki muncul di sampingnya. Mashiho menengadah, mendapati gadis waktu itu sedang menatapnya dengan raut terkejut.
"Eh?"
Mashiho refleks berdiri, memasukkan kembali bungkusan makanan kucing ke dalam tas dan meneguk ludah.
Hadeh, keluar lagi gugupnya kalau ketemu cewek.
"Wah, kamu kasih makan Mokutan?" tanya gadis itu sambil tersenyum.
"Mokutan?" ulang Mashiho. "Arang?"
"Ahaha iya, aku kasih nama Mokutan karena bulunya hitam banget."
"Suka jejepangan, ya?" tanya Mashiho, berusaha basa-basi.
"Bukan suka," jawab Remi, "memang dari Jepang."
Gadis itu tertawa sambil mengelus Mokutan. Tak lama, ia mengulurkan tangan pada Mashiho.
"Perkenalkan, Remi."
Mashiho menerima uluran tangan itu dan berjabat dengannya. "Mashiho. Panggil aja Cio."
"Eh, sebentar." Remi tiba-tiba diam di tempa, nampaknya sedang mengingat sesuatu. "Cio ... adeknya Kak Yoshinori?"
Kenapa Abang Oci lagi ............
"Iya. Akrab sama Bang Oci?"
"Akrab, sih, enggak. Tapi, aku juga anak English Club, jadinya sering ketemu."
"Oh, gitu."
Sudah.
Habis sudah bahan pembahasan mereka.
Mashiho juga tiba-tiba jadi bad mood.
"Ya udah, aku balik, ya." Mashiho hendak melengos pergi. Tetapi tak sampai sedetik, tangannya di tahan dari belakang.
"Tunggu!"
Mashiho menatap genggaman tangan itu, kemudian mengangkat alis seakan meminta penjelasan di balik apa yang sedang dilakukan oleh Remi.
"Anu-itu, tiga hari lagi, kepala yayasan bakal datang ke sekolah."
Remi melepaskan pegangannya pada tangan Mashiho, lalu menunduk memandangi Mokutan. "Area sekolah mau dibersihkan, termasuk dari binatang-binatang liar yang ada di sini."
"Termasuk Mokutan," lanjut gadis itu.
Perasaan Mashiho tidak enak. Rasanya, ia ingin segera kabur saja dari sini. Memang benar, dari awal keputusannya untuk ikut campur dengan kucing hitam itu sudah salah.
"Kamu keliatannya peduli sama Mokutan. Dia masih kecil, enggak punya siapa-siapa selain aku sama kamu." Remi seketika memasang wajah sedih.
Mulai, deh.
Apa ini Nana yang sedang menjelma?
"Kamu bisa bawa pulang sementara?"
Mashiho tersentak. Walaupun agak menduga, tetap terkejut bukan main.
"Ke-kenapa aku? Kamu sendiri?"
Remi mengalihkan pandangan ke Mokutan, wajahnya terlihat semakin sedih. "Enggak bisa, Ayah sama Kakak alergi bulu kucing."
Mashiho membuang nafas panjang. Diam-diam, melirik sebentar pada Mokutan yang sibuk mengunyah makanan kering yang ia berikan dengan lahap.
"BENER KAN, KATAKU!" Haruto melonjak, berdiri tegak lalu meletakkan kedua tangan di pinggang dengan wajah sombong.
"Parah, Cio! Giliran cewek lain, aja, diturutin!" kesal Nako. Tangannya masih asik memainkan tubuh Mokutan yang aktif bergerak sana-sini.
Yoshinori kemudian tampak menuruni tangga dengan wajah yang tidak terlihat begitu bahagia dengan fakta bahwa kini seekor kucing liar berada di dalam kediaman mereka. "Inget, kucingnya dijaga, jangan sampai naik ke atas, ntar Chiko dimakan."
"Emang keliatannya bisa makan hamster?" tanya Haruto. "Kan dia masih kecil."
"Sssst, Bang Oci begitu karena dia takut kucing." Nako menyenggol pelan lengan sang adik. "Waktu SD pernah digigit."
Haruto diam, menatap Yoshinori-menahan tawa.
"Muka doang garang, sama anak kucing aja takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Siblings
FanfictionYoshinori, Mashiho, Nako, serta Haruto. Empat bersaudara sengklek yang hidupnya normal-normal ajaib. Dan ini adalah kisah pendek mereka.