Anesha bertaruh untuk hidup sedikit lebih benar setiap hari, lewat 3 cangkir kopi. Garis temu malah membuatnya memangkas jarak dengan Dillon-bocah yang hidup seakan mati besok. Tidak terdengar kejam, jika Kasen belum terbesit jua, remaja ideal menur...
Anesha Badra (16 tahun) Anak perempuan sederhana dengan isi pikiran yang gemuruhnya enggan reda.
Tujuan hidup itu untuk apa? Untuk menang, untuk berada di puncak, untuk bersaing dan saling dorong.
Anesha Badra, gadis yang suara tawanya bahkan tidak diingat oleh teman sekelasnya. Menurut Anesha, mereka terlalu sering tertawa pada hal-hal konyol yang tidak perlu; meluapkan perbincangan kurang berbobot tak kenal jemu. Gadis ini tak masalah jika harus memimpin dirinya sendiri, ia terbiasa berjalan sendiri. Namun, ada kelam yang ia coba sembunyikan ke pedalaman: sedikit lagi hampir membuatnya tenggelam. Anesha bertanya-tanya mengapa semakin berkurang orang yang duduk di bangku dukungan miliknya? Hingga ia bosan mempertahankan hasil terbaik, bagaimana kalau bermain-main sebentar? Sial, Anesha lupa bagaimana menjadi dirinya yang dulu.
Gadis ini bisa kau kenali saat guru fisika menjelaskan, ia hanya akan menggambar di buku catatannya, dan menghela napas berkali-kali karena tidak mengerti. Buku catatannya justru dipenuhi dengan sketsa remeh. Mungkin gambar seorang anak lelaki dengan senyum manisnya, tidak, itu bukan Pangeran yang sedang dinanti.
Ia tidak percaya pada dongeng milik anak kecil: menunda pengenalan dunia yang licik saja. Yang jahat tidak selalu membayar perbuatannya, dan yang kurang memberontak belum tentu mendapat akhir bahagia.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tidak akan ada yang sengaja menyibukkan diri untuk membuat diri sendiri basah kuyup, hanya untuk memastikan jantung kita masih berdegup: tetap hidup, meski hampir tenggelam di pedalaman sana.
Dillon Randezo (16 tahun) Anak laki-laki yang berpikir menentang adalah bagian dari juang.
Ia penggusur tugas, dan lihai menempatkan diri, Dillon tergiur pada kejayaan selagi enggan berpangku tangan. Hingga seorang gadis mengusiknya, ia memahalkan waktu memahami diri. Dillon bersikukuh menyangkal, tapi pada suatu masa, ia goyah.
Bagi Dillon, hanya dengan memasaklah; ia dapat merasa degup jantungnya berpacu lebih hidup.
Tapi Willis—kakak kandungnya sendiri—justru menganggap impian Dillon terlalu kekanak-kanakan. Padahal di dapur Dillon banyak mengerti banyak hal; tentang bagaimana ketepatan waktu bekerja, perkiraan yang dapat menjelma terawangan hasil akhir, pemanfaatan lima indra lebih peka lagi. Takaran bahan yang tidak kurang pun berlebih-atau lain sudah jadinya. Dillon keras pada dirinya sendiri, jadi bagaimanapun caranya mimpinya harus tetap bertahan, Dillon mengaku tidak takut tantangan pun ditantang. Realitas hidup mencoba mengusiknya saat ia mulai lengah.
"Kau bertahan hingga kini, hanya untuk tumbuh egois dengan pendirian konyolmu itu, Tuan? Bukankah kau membuat kecewa raga lain yang rela menyokongmu?"