Side Story : Daehyun

582 103 1
                                    

SIDE STORY :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SIDE STORY :

THIS IS HAN DAEHYUN

Orang terdekatku bilang, aku cukup keras kepala.

Mungkin ini hasil didikan kedua orang tuaku, atau mungkin karena lingkunganku? Tapi aku tumbuh dengan prinsip seteguh baja di dalam hati. Aku tidak tahu darimana sikap sekeras itu muncul atau darimana aku dapat yakin secara utuh akan sesuatu yang menurutku "pas" untukku? Ketika aku memutuskan untuk menerima lamaran dari seorang bernama Park Jimin. Aku yakin, begitu saja kepadanya. Orang tuaku jelas mendukung, apalagi dengan latar belakang keluarga Park yang sangat tersohor. Serta, relasinya dengan keluarga Jung. Aku paham, dia juga pria yang baik dan dapat bertanggungjawab. Tapi sayangnya, dia tidak lebih dari properti keluarganya dan ketika aku mendengar dia akan maju dalam putaran pemilihan presiden setelah seluruh tugasnya selesai dan dia bergabung dengan partai ayahnya, aku jadi bertanya-tanya; apakah masa depanku justru ada di tanganku atau di tangannya?

Jika kami benar sampai ke jenjang pernikahan, tentu saja, aku akan hidup bersamanya dan tidak akan berkutik dengan keinginan besarnya tersebut. Aku akan maju dan dikenal sebagai istri dari presiden.

Aku tidak tahu apakah aku bahkan cukup pantas, atau aku tertarik untuk mengetahui hal tersebut.

.

.

Apartemen ini disiapkan oleh orang tuaku. Pokoknya, selama aku di Boston, mereka memastikan bahwa aku akan hidup dan belajar dengan baik. Tentu saja, aku percaya hal itu kepada mereka. Tempat ini bahkan terlihat seperti satu hunian untuk satu keluarga besar; ada tiga kamar tamu, satu kamar utama, empat kamar mandi, satu ruang tengah, satu ruang makan, dan dapur. Aku hidup seperti flat ini adalah rumah baruku. Tapi, jika biasanya aku agak merasa kosong, sosok itu sudah datang untuk menemuiku.

Aku tahu, dia tengah curi-curi waktu dari seniornya. Dengan bau apak setelah seharian berkeliling dan berpatroli serta latihan fisik, aku hampir terbiasa dengan aroma khas tubuhnya. Dia masih mengenakan sepatu bot besar bertali hitam, pakaian lorengnya serta satu wajah dengan senyuman manis.

"Hai."

Aku tersenyum di pintu dan menatap Jimin. "Kau bolos lagi? Bagaimana jika mereka tahu dan melapor kepada Nyonya dan Tuan Park Yang Terhormat?" Sebelum Jimin menjawab, dia sudah menangkap tubuhku dan mengangkatku sampai ke sofa. Aku duduk di pangkuannya dengan tawa yang lolos serta Jimin menciumi sekitar bahuku. "Yak! Pintunya masih terbuka!"

"Baik, tunggu sebentar." Setelah beres, dia pun duduk bersamaku di sofa dan aku kembali duduk di pangkuannya. Kami bertatapan dekat. "Jadi, bagaimana dengan kampusnya?"

"Semuanya berjalan lancar. Well, kekasihmu ini cukup pintar, tau!"

Jimin mencubit ujung hidungku. "Oh, benarkah?" Kami terkekeh bersama dan Jimin mengusap sisi wajahku. "Aku mungkin akan dipindah tugaskan dua bulan lagi. Apakah tidak apa-apa? Kita bisa berhubungan lewat telepon dan email. Aku akan pastikan terus mengirimi kabar denganmu, toh setelah ini, aku akan memasuki tahun seniorku kemudian lepas."

"Hm, kurasa."

Jimin mencebik. "Aku akan merindukanmu."

"Aku juga," kataku dan balas mengusap wajahnya. "Aku terus berpikir.."

"Soal apa?"

"Kalau kita benar menikah dan kau akhirnya terpilih sebagai presiden, Jim. Apakah akan ada yang berbeda dari kita?"

"Apa maksudmu? Tentu saja tidak ada." Jimin hendak memiringkan wajahnya, namun aku menahannya dengan tanganku. Pria itu melebarkan mata. "Kenapa? Aku tidak boleh menciummu sekarang? Di sini?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan," kataku.

Jimin memandangku, lekat. "Tidak akan ada yang berbeda, Daehyun. Aku pastikan itu. Aku memang seorang presiden untuk masyarakat dan negeriku, tapi aku tetap berkewajiban sebagai suamimu, orang yang mencintaimu. Aku tidak akan berubah, begitu pun kita. Justru aku yang bertanya, apakah kau yang akan berubah? Apakah kau akan berbeda?" tanyanya sejurus kemudian. "Apakah kau akan memandangiku lain? Aku tahu kau tidak suka kalau harus mengikuti aturan istana dan yang lainnya."

"Jelas," aku menggerutu. Belum apa-apa, aku bahkan sudah mulas. "Pasti menyebalkan hidup sebagai First Lady."

"Aku akan usahakan yang terbaik untukmu."

Aku mendekatkan wajahku. "Jadi, meskipun aku sudah menjadi istri presiden, aku bebas memberontak?" Jimin balas terkekeh dan mencubit pipiku. "Yak!"

"Tentu saja tidak boleh terang-terangan. Bagaimana pun, seluruh Gyeo akan menatap kita berdua. Jadi, memberontaknya saat kita berdua saja, oke?" godanya.

Aku melingkarkan tanganku di sekitar tubuhnya dan menyandar di dadanya dengan nyaman. "Aku agak khawatir."

"Jangan begitu."

Aku bertahan di posisi tersebut sampai Jimin menarik tubuhku agar kami dapat bertatapan. Dia mulai mencium keningku, kelopak mataku, hidungku dan terakhir di sudut bibirku. Aku menahan napasku sesaat jejak panas tertinggal di sana dan Jimin terus menatapku dengan intens.

"Aku mencintaimu. Itu tidak akan berbeda, Daehyun."

"Aku juga tidak akan berbeda. Aku akan pastikan kau akan terus kerepotan karenaku. Kau tahu kan, aku benci bagaimana orang dapat mengaturku.."

"Ssh, aku sudah terbiasa dengan itu," katanya dengan senyum miring.

Aku tersenyum. "Bagus."

Jimin mulai memagut bibirku, seraya mengangkat tubuhku. Ia membawaku menuju kamar utama. Aku menarik wajahku untuk beberapa saat sedangkan napas kami sama-sama memburu. "Aku akan terus bersamamu, Jim."

"Tentu saja. Apakah kau bisa kabur dari seorang presiden?" godanya dan hendak mendorong tubuhku agar berbaing. Namun, aku lagi-lagi menahan depan dadanya. "Ada apa?"

"Aku ... aku serius. Maksudku, jika sewaktu-waktu aku pergi.. aku sebenarnya..."

"Daehyun, apa yang kau bicarakan? Mengapa mendadak ..." Jimin menggigit bawah bibirnya gemas. "Apa maksudmu? Jangan mengatakan hal yang macam-macam. Kau tidak akan pergi kemanapun. Tidak jika itu tanpa aku.. oke?" Jimin membantuku berbaring kemudian dia kembali mengusap sisi wajahku hati-hati. Pembicaraan kami tempo hari terputar di benakku; bahwa aku jadi banyak berpikir. Mungkin ini faktor stres atau karena aku akan kehilangan dia lagi karena dia harus bertugas? Mungkin. Aku menggeleng keras. Tidak akan yang pergi. Mengapa aku serba khawatir untuk hal yang tidak benar. Aku mendekapnya yang hendak melepas kancing-kancing seragamnya. Jimin pun tertegun tapi dia tidak menahanku. Beberapa menit bergulir sedangkan aku tidak melonggarkan dekapan tersebut.

"Daehyun..."

"Kumohon, tetap seperti ini. Aku akan sangat merindukanmu setelah ini, kau harus pergi, ingat? Tugasmu. Jadi, biarkan aku egois dengan cara menguasaimu seperti ini..." kataku setengah berbisik.

[]

Seduce Mr. President | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang