Seduce Me #22

432 71 8
                                    

CHAPTER DUA PULUH DUA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER DUA PULUH DUA

RED LINGERIE

Germiris kecil menyambut kedatangan Jimin di pengungsian tambang tersebut. Tirai-tirai kecil hujan membuat suasana jadi lebih syahdu, melupakan pernah ada ledakan besar berjarak beberapa km dari sana. Jimin dikawal puluhan ajudan yang sudah siap menahan tubuh dan memasang dada kuat jika sewaktu-waktu ada yang nekad mendekati Presiden itu. Dinaungi payung hitam, Jimin menggenakan celana panjang gelap, serta mantel panjang berwarna senada. Wajahnya tenang, senada dengan gerimis yang terus menerpa kubah payung di atasnya. "Apakah aku bisa ke sana?" tanyanya kepada Presiden Beafrn yang langsung mengangguk.

Setibanya di satu tenda pengungsian, orang berbondong-bodong mendekat. Jimin menarik senyum tipis seraya melambai singkat kepada mereka. Ada banyak anak kecil, kebanyakan kurus serta menatapnya dengan bingung. Ada wanita dan pria yang cepat membungkuk rendah sesaat dua presiden itu muncul, dengan setelah mahal mereka nampak kontradiktif dengan suasana pengungsian yang kumuh nan sesak.

"Selamat pagi."

"Selamat datang, Presiden," kata satu komandan di sana. Dia memberikan hormat kepada Presiden Beafrn dan Jimin bergantian, kemudian berdiri dalam posisi tegap. "Senang Anda berdua dapat berada di sini."

Jimin tersentak, teringat akan sesuatu dari saku pakaiannya. Dia mengeluarkannya dan menyerahkan kepada komandan itu. "Dari istriku. Ini adalah surat untuk para pengungsi, kau bisa membacakan kepada mereka. Beliau tidak bisa datang karena sesuatu tapi dukungan beliau selalu mengalir dan beliau ingin Beafrn serta para pengungsi diberikan banyak ketabahan dan juga kekuataan untuk bangkit lagi."

"Sebuah kehormatan, Mr. President." Ia pun agak mencodongkan tubuh seraya menerima surat itu dengan hati-hati. Setelahnya, mereka mulai berkeliling dengan Menteri Kim Taehyung turut mengikuti dari belakang. Mereka bercengkrama dengan para pengungsi, melihat bagaimana makanan dibagikan, bagaimana beberapa bantuan terus berdatangan dari mobil pengangkut, kemudian Jimin membungkuk untuk mengusap kepala bocah tujuh tahun yang dekat dengannya, dia izinkan untuk mendekatinya.

Dibandingkan dengan pengusian di perbatasan, jelas berbanding jauh. Setidaknya di sana punya banyak pasukan serta bahan makanan yang lebih banyak. Tenda-tenda baru kerap dibangun seiring jumlah pengungsi yang tidak dapat tidur berdempetan satu sama lain. Sedangkan di sini, mereka punya lahan terbatas dengan kontur tanah tidak rata sehingga menyulitkan tenda-tenda untuk dibangung, belum lagi masalah sanitasi yang buruk serta gerimis yang membuat jalanan penuh genangan dan berlumpur abu. 

Tidak hanya itu, mereka kesulitan mencari sinyal telepon dan mustahil untuk tetap tenang dan terlelap jika sewaktu-waktu ada kekhawatiran ledakan susulan akan tiba. Jimin merinding karena membayangkan banyak orang perlu tidur bersisian, kemudian saling memperjuangkan ruang yang sudah sempir tersebut. anak-anak tidak bisa tidur bersamaan, anak-anak pun rentan akan penyakit yang menyangkut kebersihan tenda. Para tentara sudah memasakkan makanan, tapi agak tidak kondusif dengan pembagiannya karena satu kepala keluarga setidaknya punya lima anak dan tiga di antaranya masih kecil, serta gemar menangis tidak sabaran jika perut mereka lapar. Potret itu membuat Jimin meringis dalam, teringat lagi kalimat istrinya; bagaimana jika istrinya yang justru di sini, bagaimana jika mereka yang harus tinggal bersama pengungsi lain dan tersiksa bersama.

Seduce Mr. President | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang