Eleven

541 81 45
                                    

Adakalanya, aku masih terjebak dalam fantasi dimana Mark masih menjadi bayi dengan kurun usia 0-2 tahun. saat-saat paling menggemaskan dimana aku bisa mendandinya sesuka hatiku. membuatnya memakai barang-barang lucu seperti dalam permainan berdandan, dan bocah itu tidak punya kuasa untuk menolak.

Menyedihkannya, tanpa kusadari masa itu telah berlalu 4 tahun yang lalu. sekarang Mark memiliki semua hak untuk memilih pakaian yang ingin dia kenakan sendiri. Bukan hanya itu, Mark bahkan sudah tidak membutuhkan bantuan ku lagi untuk mengidentifikasi bagian depan dan belakang kaos polos, atau membantunya memakai celana yang dulu tidak bisa dia lakukan tanpa terjatuh.

aku tidak akan pernah ingat betapa menyenangkannya momen tersebut jika akhir-akhir ini hal buruk tidak terus menimpa kami, atau aku lebih tepatnya. sekarang aku benar-benar rindu memakaikan baju padanya, namun mark bahkan tidak lagi mengijinkan ku mengancingkan bajunya.

Bocah itu secara tegas mengatakan bahwa, "aku sudah besar!" lantas, walaupun kerepotan dan kagok dia berusaha mengancingkan bajunya sendiri. aku tidak tahu harus merasa sedih atau geli. Caranya menegaskan bahwa dia sudah besar saat dia bahkan tidak bisa menggosok punggungnya sendiri tanpa bantuan ku beberapa menit yang lalu, benar-benar menggelikan.

pengering rambut berdesing nyaring di tanganku, mengeluarkan udara hangat yang kugunakan untuk mengeringkan rambut Mark yang beraroma buah-buahan dari shampoo yang dia gunakan.

"jangan menunggu papa untuk makan malam jika papa belum pulang, oke?"

selepas mengatakan itu, Mark yang semula berkonsentrasi penuh dalam usahanya memasukan kancing ke dalam lubang tanpa tergelincir, yang sayangnya kerap gagal akibat jari-jarinya terlalu mungil untuk kancing yang berkali-kali lipat lebih mungil, segera mengangkat kepalanya dan menatapku.  Dari ekspresinya aku bisa mengatakan bahwa dia tidak begitu senang.

"papa tidak akan pulang untuk makan malam?" tanyanya.

"akan papa usahakan," janjiku. "tapi jika papa belum juga pulang kau tidak boleh menunda makan malam, mengerti?"

aku mengurai rambutnya, menyisirnya sedikit demi memastikan setiap helainya dapat kering dengan sempurna.

"tapi papa akan pulang untuk makan malam, kan?"

Pengering rambut kumatikan dan kuletakan. Kupandangi bocah itu yang sekarang terang-terangan menunjukan ekspresi sedu, bercampur kecewa, bercampur sesuatu yang membuatku ikut merasa sedih.

Aku tahu ekspresi itu, satu kali Mark pernah menunjukannya. Saat itu aku sedang ke luar kota untuk masalah pekerjaan, Mark baru empat tahun. aku menitipkannya pada orang tuaku selama seminggu penuh dan harusnya pulang pada malam natal, namun saat hari h penerbangan ku justru harus ditunda karena kendala cuaca.  Aku menghubungi orang tua ku via panggilan video, mengatakan bahwa aku tidak dapat pulang tepat waktu dan mungkin melewatkan pesta natal  kecil-kecilan yang telah kami rencanakan ketika aku pulang, dan di situlah Mark memberikanku tatapan tersebut sebelum akhirnya menangis keras.

Tapi kali ini, aku yakin telah memberitahu Mark bahwa aku tidak akan pergi kemanapun selain ke acara ulang tahun, yang notabene tidak akan mungkin berlangsung hingga 24 jam. jadi, alasan kenapa bocah itu harus merasa sesedih ini benar-benar sebuah misteri. sejak menginjak usia 5 tahun Mark sudah tidak pernah menangis setiap aku meninggalkannya pergi.

"Mark ... ." Kuusap kepalanya. "kenapa? papa akan meninggalkanmu di rumah paman Jisoo, kau suka, kan? hmm?" Bocah itu masih tidak menjawab, juga tidak menatapku melainkan deretan kancing bajunya. "kudengar paman Jeonghan punya mainan lego baru, kau akan bermain dengannya dan jadi anak baik, bukan begitu?" masih belum ada jawaban. "papa tidak akan lama. begini saja, kau mau apa? akan papa bawakan saat pulang."

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang