Twenty Five

436 82 71
                                    

Aku selamat dari keharusan berbasa-basi kikuk karena kuhabiskan hampir seluruh waktu perjalanan untuk tidur. Mengherankan bukan, semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan Seungcheol, memikirkan hari ini. Tapi sekarang saat objek dari kegelisahanku berada tepat di sebelahku aku bisa tidur dengan pulas selama lebih dari satu jam, di dalam mobil yang notabene tidak lebih nyaman daripada tempat tidurku di rumah.

Namun tampaknya mataku sudah mencapai batas limitnya hingga mendekret otakku untuk berhenti berpikir dan tidur.

Saat aku terbangun kami telah memasuki kawasan pemukiman yang dijejaki rumah-rumah sederhana dan ladang ilalang dan persawahan yang sangat kukenali.

Seungcheol telah menanggalkan sweaternya entah sejak kapan. Tidak benar-benar ditanggalkan namun sekarang sweater itu hanya menggantung di lehernya, menyisakan kaos putih polos yang lengannya digulung sampai bahu.

Aku menoleh padanya bertepatan dengan Seungcheol yang juga menoleh padaku. 

Seungcheol tersenyum. aku membuang muka ke belakang untuk menghindari tatapannya sekaligus untuk mengecek keadaan Mark yang ternyata masih senantiasa tertidur pulas.

"tidak jauh lagi kan?" Seungcheol bertanya.

Aku mengangguk. "Lima rumah lagi." Aku menunjuk. "di sana! rumah warna putih. parkirkan saja mobilnya di depan."

Seungcheol mengikuti arahan instruksi dariku. Dia memberhentikan mobil di depan pekarangan rumah kedua orangtuaku yang, karena mendengar suara deru mobil, keluar dari rumah. 

Untuk beberapa saat tidak ada satupun dari kami yang bergerak. Aku menarik napas dalam-dalam, dan di sampingku aku bisa mendengar Seungcheol melakukan hal yang sama. 

Untuk pertama kalinya bertemu dengan kedua orangtuaku terasa begitu menegangkan. Untuk pertama kalinya juga aku tidak ragu dan bisa memastikan kalau aku dan Seungcheol tengah berbagi perasaan yang sama sekarang; gelisah, cemas dan bimbang.

Aku baru tergerak ketika kulihat ibuku tersenyum dan melambai pada kami dari beranda rumah. Seungcheol mengenakan kembali sweaternya dan tanpa menunggunya aku sudah keluar dari mobil untuk mengangkut barang-barang di bagasi.

Ayahku datang untuk membantu membawa beberapa tas. Dan ternyata Seungcheol sudah keluar sambil menggendong Mark yang mendengkur.

Aku mencoba mengambil alih Mark dari gendongannya namun Seungcheol menggeleng. "tidak apa-apa," pria itu berkata. "biar aku saja."

Aku membiarkan semata-mata karena tidak ingin membangunkan Mark jika aku berdebat dengan Seungcheol sekarang, pun bagaimana bisa aku berdebat dengan dia di depan orang tuaku? 

Bicara mengenai orangtuaku, tatapan tak bersahabat terus dilayangkan oleh ayahku untuk Seungcheol padahal aku yakin sudah mewanti-wantinya untuk bersikap normal, tapi ayahku sepertinya berpikir bahwa itu tidak penting selama Mark tidak melihat. 

Dan setiap ayahku melakukan itu, menengok ke arah Seungcheol dengan tatapan tajam yang seolah berkata "kutendang kau dari rumahku jika kau berani macam-macam", Seungcheol akan mengulas senyum canggung untuk membalasnya.

Dan setiap mereka melakukan itu aku harap Tuhan mengabulkan doaku dan mengubahku menjadi bebatuan.

"Eomma." Aku peluk ibuku ketika mencapai tempatnya berdiri di beranda.

Ibu balas memelukku dengan hangat, kemudian dia beralih untuk mengusap surai Mark. Usapan lembut yang sama sekali tidak mengganggu tidur bocah itu.

Lalu dia tersenyum pada Seungcheol dan aku takjub sebab itu masih lah senyum yang sama dengan yang dia berikan setiap kali Seungcheol datang berkunjung ke rumah setelah kami pulang sekolah dulu. Seolah ini tidak ada bedanya dengan hari itu.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang