Thirty Seven

441 79 91
                                        

Aku tidak pernah merasa seperti ini seumur hidupku. Entah bagaimana cara mengatakannya.

Rasanya seperti aku adalah larva yang akhirnya keluar dari kepompong yang telah begitu lama mengukung ku. Dan secara ajaib merasa begitu lepas seperti kupu-kupu. Tidak ada lagi beban yang menyelimuti ku, yang menghentikan ku untuk terbang.

Pengandaian yang menjijikan. Aku tahu.

Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya lebih baik dari pada itu.

Aku tidak mau berharap banyak, namun tiba-tiba roda hidupku menggelinding begitu mulus seolah tanpa hambatan karena hambatan yang sebelumnya kukira hambatan ternyata bukan hambatan.

Metafora yang membingungkan. Aku tahu.

Intinya, jika penjabaran ku tadi terkesan menjijikan dan membingungkan, kalian hanya perlu tahu  bahwa aku.... Bahagia?

Entahlah, saat ini bagiku kebahagiaan adalah kata yang memiliki begitu banyak makna.

Apakah aku bahagia? Mungkin. Namun perasaan bahagia ini berbeda dengan yang pernah aku rasakan. Rasanya seperti ada yang dicabut dari diriku, namun dari pada kehilangan, aku merasa lega. Sedangkan perasaan bahagia yang biasa kurasakan, seringnya disebabkan oleh Mark, terasa seperti meluncur di atas pelangi kemudian jatuh langsung di atas awan-awan.

Aku selalu mengira bahwa begitulah perasaan bahagia seharusnya terasa. Ringan, indah, dan kekanak-kanakan.

Namun setelah pergi ke pesta ulang tahun Seungcheol, aku tahu bahwa untuk merasa bahagia, aku hanya butuh mendengar bahwa Seungcheol merasa beruntung memiliki Mark. Sesederhana itu.

Aku pun tidak yakin kenapa aku begitu mudah mempercayai Seungyeol, orang yang notabene baru kutemui. Mungkin karena aku lelah menyangkal, dan mungkin karena aku lelah mencari alasan kenapa. Kenapa Seungyeol mengatakan itu, kenapa aku harus menyangkal.

Sederhananya, aku hanya ingin percaya. Menanam sedikit harapan tidak akan begitu menyakitkan. Begitu Jeonghan sering berkata.

"Ada apa dengan mu?"

Aku menoleh, pikiran terbuyarkan.

Di sampingku Bumzu sedang berjalan, namun tetap sempat melayangkan tatapan heran.

Aku menaikan alis, tidak mengerti. "Kenapa?"

Dia menggeleng. "Tidak, hanya..." Dia menatapku, seolah menilitiku, kemudian tersenyum tipis. "Harimu menyenangkan kemarin?"

Aku mendengus. "Pertanyaan apa itu?"

"Baiklah, lupakan. Hanya kau terlihat begitu senang." Aku berusaha terkekeh geli. "Hei, aku sudah melihatmu datang sejak pagi dan kau sudah tersenyum seperti itu."

"Aku tidak tersenyum."

Tatapan yang Bumzu berikan selanjutnya seolah mengatakan 'terserah apa yang kau katakan', kemudian percakapan berhenti. Kami terus berjalan menuju parkiran, seperti biasa, berniat untuk keluar mencari makan siang.

Saat kami keluar gedung, udara otomatis lebih hangat. Musim panas belum lama berakhir. Matahari masih terasa begitu terik.

Aku menarik Bumzu menuju mobil ku ketika pria itu bertanya mobil siapa yang akan kami pakai.

"Biar aku yang menyetir."

"Oke."

Aku merogoh saku jaket, memberikan kunci mobil pada Bumzu tepat ketika kepalaku diguyur cairan hitam pekat. Kopi. Otakku berhasil mengidentifikasi setelah rasa kagetku reda.

Aku berbalik untuk melihat si pelaku, tapi satu gamparan telak justru diterima pipiku. Rasa perih menyengat yang kurasakan di pipi tidak lebih mendominasi daripada keterkejutan ku.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang