Fourty Six

558 81 157
                                    

Untuk berpikir bahwa semua masalah dalam hidupku hilang setelah Seungcheol mengungkapkan perasaannya padaku nyatanya tidak benar.

Sekarang, setelah aku tahu bahwa tujuh tahun hidupku yang kulalui bermandikan kebodohan yang hakiki, dan setelah aku tahu perasaan ku untuk Seungcheol tidak hanya berjalan satu sisi, aku justru teringat akan hal paling utama dalam jurnal 1001 masalahku: memberitahu Mark yang sebenarnya.

Setelah pengakuan tiba-tiba Seungcheol kepada Bumzu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Termasuk dengan perkataan Jeonghan yang ini: "Dia akan tahu, cepat atau lambat, kau beritahu atau tidak. Tapi jika Mark menemukan sendiri kebenarannya, percaya lah, itu akan lebih buruk."

Itu semua merupakan campuran yang sempurna untuk membuatku resah.

Dulu, tujuh tahun yang lalu, aku tidak punya gambaran tentang rasanya menjadi orang tua.

"Kami melakukan itu untuk kebaikanmu." Aku dulu bukanlah penggemar dari kata-kata mutiara yang satu itu. Jargon yang selalu diucapkan orang tuaku sehabis kami berdebat hebat lantaran mereka melarang ku melakukan sesuatu yang aku mau, atau memintaku melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan.

Aku tidak habis pikir bagaimana mereka menyebut itu sebagai kebaikan saat itu menghambat ku untuk bersenang-senang dan bahagia.

Kau tahu saat kau sudah ada di posisiku. Ibu ku selalu mengatakan hal itu.

Dan beliau benar, sekarang aku tahu.

Menjadi orang tua sama dengan menjadi manusia paranoid dan skeptis. Saat menjadi orang tua, otakku otomatis berubah menjadi mesin penganalisis segala kemungkinan buruk yang luar biasa canggih. Tidak ada seorangpun yang memperingatkan tentang itu sebelumnya.

Tapi, ternyata analisis yang kubuat pun tidak selamanya akurat, bisa saja salah. Sayangnya, butuh waktu selama lebih dari tujuh tahun untuk tahu bahwa itu salah.

Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama pada Mark. Aku tidak ingin menunggu beberapa tahun untuk menyadari kebodohan ku.

Namun bagaimana tepatnya aku akan memberitahu Mark? Mungkin seperti, "Hei Mark, orang yang selama ini kau panggil paman nyatanya adalah ayahmu. Aku sengaja tidak memberitahu mu selama ini demi kebaikanmu." Jika mark bertanya, bagaimana bisa itu demi kebaikanku, Satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan hanya, "aku tidak tahu."

Yang kukira resiko terbesar dalam hidup nyatanya bukan lah resiko sama sekali.

"Papa, lebih bagus hijau yang ini atau yang ini untuk daun?"

Aku mengangkat pandangan dari laptop di pangkuan pada Mark yang duduk di meja belajar. Tangannya mengacungkan dua crayon warna hijau tua dan yang satu lebih muda.

Aku menunjuk hijau tua. Mark lantas kembali pada kesibukan nya, yakni mewarnai di buku mewarnai.

Aku kembali pada aransemen yang kubuat. Memutarnya lagi dan lagi tanpa benar-benar fokus.

Aku harus memberitahunya. kata suara di dalam diriku.

"Mark," Panggil ku.

Mark menoleh. "Hm?"

"apa kau menyayangiku?"

Dahi Mark berkerut seolah aku baru saja bicara terbalik. "Apa?"

"Apa kau menyayangi papa?" ulangku. Mark mengangguk. "Sebesar apa kau sayang padaku?"

Mark hendak membuat gerakan tangan, tapi dia urungkan. Bocah itu berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Tidak dapat diukur."

Aku tersenyum. "Kau yakin?"

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang