six

667 102 45
                                    

Aku sedang sibuk mengerjakan demoku ketika kurasakan bahuku ditepuk. Bumzu hyung tersenyum. "Pintumu tidak tertutup rapat tadi."

"Sungguh?" aku melongok ke arah pintu.

Dia terkekeh. "tidak, aku hanya ingin menyapa." Katanya, lantas menjatuhkan diri di sofa yang ada di belakangku.

"Ada cola jika kau mau." ku tunjuk kulkas kecil di sudut ruangan yang menyimpan semua cemilan harian ku di studio.

"Terimakasih, tapi aku hanya ingin berbasa-basi sebentar." Katanya.

"Tidak ada yang mengatakan kau tidak boleh berbasa-basi sambil minum soda."

"Ya, ada. program diet ku." dia tertawa. "Omong-omong bagaimana Mark?"

Pertanyaan bagus. Bagaimana Mark? Oh, tentu saja bocah itu masih belum bisa menerima bendera putihku, perang dingin sepihak kami masih berlanjut entah sampai kapan.

Sudah dua hari Mark mengabaikanku, selalu menanggapi pertanyaanku dengan jawaban singkat, berhenti menceritakan tentang harinya di sekolah seperti biasanya. Padahal rekor terpanjang dia marah padaku hanya 4 jam. Tidak pernah susu kocok strawberry ekstra krim tidak memperbaiki semuanya sebelum ini, tapi sekarang dia bahkan tidak kepincut dengan apapun yang aku tawarkan.

Sungguh luar biasa.

"Masih antusias dengan kamar barunya." Tentu saja bumzu hyung tidak perlu tahu. Kenapa juga aku butuh orang lain untuk mencemaskan masalahku. "Terimakasih."

"Tidak perlu. Aku senang melakukan itu untuknya." Dia meregangkan tubuh, melipat tangannya di belakang kepala kemudian kembali berujar. "Lalu, bagaimana dengan kencanmu?"

"Yang itu juga terimakasih." kuharap wajahku bisa berekspresi biasa saja. Tapi aku tetap merasa seperti remaja yang baru pertama kali berkencan. Padahal aku pria berusia 24 tahun yang baru pertama kali berkencan. 

"ei ... sudah kubilang tidak perlu berterimakasih. Lagipula aku sudah beberapa kali membicarakan tentang Chanyeol dan kau tidak pernah peduli, tapi kenapa sekarang kau tiba-tiba tertarik?"

Pertama-tama harus kularat pernyataan Bumzu hyung, aku bukan tidak peduli, hanya tidak memperhatikan --entah apakah fakta itu merubah sesuatu--. aku bahkan merasa baru mendengar nama Park Chanyeol kemarin jadi jika memang benar bumzu hyung sering membicarakannya sungguh aku tidak keberatan ditampar saking keterlaluannya, atau dibuatkan janji temu dengan dokter THT.

aku mengedikan bahu. "aku merasa belum membuat perubahan besar tahun ini, jadi kurasa ini waktunya."

"Apa dia tahu?" Tanyanya hati-hati. Walaupun pantang dia katakan tapi aku tahu maksudnya.

Kali ini aku yang mengangguk senang. "Dia bilang ingin bertemu Mark."

Senyum lebar merekah dari bibirnya. Bumzu hyung menepuk-nepuk punggungku lembut sambil berujar. "aku benar-benar senang untukmu."

di tengah-tengah atmosfer menyenangkan itu ponsel baruku menjadi satu-satunya hal yang terdengar sangat marah. Benda itu bergerak gusar di atas meja kaca, bergetar gila-gilaan, nada dering default penanda sebuah panggilan masuknya meraung-raung. nama penelpon tertera di sana, Guru Jung.

rasa khawatir langsung mengambil alih, melunturkan senyum di wajahku. jika ada seorang guru dari anakmu yang menghubungi sebelum sekolah usai itu tidak pernah berarti baik. TIDAK AKAN PERNAH.

"ada apa?" bumzu hyung bertanya setelah mengintip nama penelponku.

Aku mengangkat bahu dan buru-buru mengangkat panggilan itu tanpa berpikir lama. "halo?"

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang