Fifty Two

723 79 241
                                        

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Seungcheol sepertinya tidak mendengar apa yang ku katakan dan memang lebih baik begitu.

Aku menyemburkan kata-kata itu tanpa berpikir--atau sejujurnya, aku sejatinya telah berpikir, itu lah yang membuatku merasa kecewa dan malu pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa mengatakan itu saat aku masih bisa berpikir?

Aku menyandarkan punggung lebih dalam pada kursi penumpang. Kepalaku serasa ingin pecah. Ku tarik napas dalam-dalam, namun berhenti ketika kudengar suara Seungcheol berkata, "sungguh?" Dia menoleh padaku. "Kau yakin kita tidak perlu menjemput Mark?" Suaranya terdengar gugup.

Mata nya yang cemerlang menatap tepat ke dalam mataku seakan sedang mencari sebuah jawaban. Sedangkan mataku sibuk berlarian ketika aku menjawab, "Jeonghan hyung tidak akan keberatan jika Mark menginap di sana untuk malam ini."

Mempertimbangkan betapa gugupnya aku, seseorang patut memberikanku penghargaan atas artikulasi ku yang sempurna.

Aku sudah punya berbagai macam pertimbangan di dalam benakku tadi, sesuatu yang membuatku putar otak dan berubah pikiran, tapi itu semua tidak berguna karena Seungcheol mendengar apa yang kukatakan. Terlambat.

Tidak, aku masih bisa berkata tidak.

"Sungguh?" Tanya Seungcheol lagi, kini penuh penekanan. "Kau yakin?"

Apa aku yakin? Kuajukan pertanyaan itu pada diriku sendiri, berulang-ulang namun aku tetap tidak tahu jawabannya. Aku bisa saja mengatakan tidak, tapi untuk suatu alasan, aku tidak melakukannya. Aku memejamkan mata, berharap dengan begitu pikiranku bisa berubah jernih dan aku tahu bagaimana pembicaraan ini akan berakhir.

Tadi gagasan ini terasa begitu mudah, mengalir begitu saja dengan natural seperti halnya ketika aku memikirkan Mark atau memikirkan kudapan apa yang ingin aku santap pada tengah malam. Aku terlambat sadar bahwa tentu saja ini tidak sama. Tentu saja ini tidak sesederhana itu.

Keterdiamanku tanpa sadar berlangsung begitu lama hingga Seungcheol memecah hening. "Jihoon, apa kah kita memikirka-"

"Ya." Jawabku dalam kepanikan.

Mobil berhenti saat kami sampai di lampu merah. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi Seungcheol untuk mengalihkan perhatian padaku. Dia tidak hanya menolehkan kepala, dia sekaligus memutar tubuh.

Aku menyibukan diri mengamati plat-plat nomor mobil di hadapan kami, jadi aku tidak tahu pasti apa yang dipancarkan matanya atau ekspresi apa yang tengah dia buat sekarang.

"Kau yakin? Maksudku--Jihoon, aku benar-benar perlu memastikan."

Otakku kembali bekerja seperti mesin yang kepanasan. Aku menelan ludah. "Aku yakin." Sudah kuputuskan.

Aku menoleh pada Seungcheol. Sesuatu yang terpancar di dalam matanya membuatku ingin terus menatap nya namun juga membuatku ingin memalingkan muka sejauh mungkin.

Tatapan nya kemudian turun. Aku sadar betul Seungcheol tengah memperhatikan bibirku. Ketika tangannya terangkat, entah hendak melakukan apa, lampu berubah hijau. Segera Seungcheol membenarkan posisi duduknya, dan melajukan mobil tepat saat pengendara mobil di belakang menekan klakson.

Udara yang kemudian melingkupi kami terasa berat hingga aku harus menarik napas dalam-dalam hanya untuk memasukan sekelumit oksigen ke paru-paruku yang sekarang terasa berkali-kali lipat lebih luas.

"Menurutmu apakah kita perlu mampir dulu ke minimarket?" Seungcheol memecah hening.

Entah bagaimana aku tahu ilokusi dari pertanyaan itu. Telinga Seungcheol memerah, menegaskan bahwa dia memang membicarakan konteks yang kupikir dia bicarakan. Seketika kurasakan telingaku juga memanas.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang