Thirteen

611 85 66
                                    

Terakhir kali Mark masuk ke rumah sakit karena alergi kacangnya adalah pertama kalinya aku mengetahui bahwa dia menderita alergi itu. Aku masih ingat kepanikan dan ketakutan yang aku rasakan ketika mengetahui bahwa aku hampir saja membunuh anakku sendiri dengan selai kacang.

Sekujur tubuh Mark sudah di penuhi ruam ketika bocah itu mengeluh tidak enak badan. Dalam perjalananku membawanya ke rumah sakit, bocah itu sudah mulai kesulitan bernapas, indikasi bahwa dia sudah mengalami syok anafilaksis, dan membuatku harus memanggil ambulance.

kejadian itu akan selalu menempati urutan teratas dalam daftar kecemasanku. kulakukan apapun agar itu menjadi yang pertama dan terakhir kalinya Mark melalui pengalaman mengerikan seperti itu.

sejak hari itu ku pastikan bahwa rumahku menjadi tempat bebas kacang-kacangan, dan tidak pernah sekalipun injeksi epinefrin dan inhaler meninggalkan tasku setiap kami berpergian. kedua benda itu bahkan lebih penting daripada dompet dan ponselku.

situasi ini memberitahuku bahwa betapa pun hati-hatinya kita musibah selalu bisa menemukan jalan lain.

Mark tengah menebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan canggung, nampak kecil dan kebingungan di atas ranjang rumah sakit ketika aku menghampiri. bocah malang itu pasti ketakutan sendirian di tempat asing.

"hei ... kau tidak apa-apa jagoan?"

Dia mengangguk lesu. "ya."

Aku menyibak poninya yang lepek oleh keringat. "tidak merasa pusing? masih sesak? kau mau papa panggilkan dokter?"

Mark tampak kebingungan lagi. "dimana dokter Choi?" aku tidak mengatakan bahwa aku akan memastikan dokter choi yang dia cari tidak akan pernah bertemu dengannya selama aku ada di sini, namun Mark menatapku seolah bocah itu dapat membaca pikiranku kelewat baik. "papa, ini salahku. harusnya aku tanya dulu sebelum memakannya, kan? paman choi tidak tahu, harusnya aku memberitahunya."

Itu lah yang aku ajarkan padanya. Mark melupakan itu dan dia tahu dia salah, tapi caranya mengatakan itu, cara dia menyalahkan dirinya sendiri untuk membela orang itu membuat dadaku lebih sesak.

andaikan aku bisa memberitahunya bahwa satu-satunya hal yang harus dia lakukan dari awal adalah tidak pergi dengan pria itu.

Entah berapa lama Mark sudah memulai kebohongan ini, diam-diam bertemu dengan dia tanpa sepengetahuanku, karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa ini adalah pertama kalinya.

Sekarang karena ini semua telah terjadi aku sepertinya tahu kenapa dan apa yang bocah itu lakukan ketika aku menjemputnya terlambat.

omong kosongnya tentang kelas tambahan yang selama ini menjadi kedoknya.

"Selama ini kau selalu minta untuk dijemput terlambat, apakah karena kau selalu menemui paman ini tanpa sepengetahuan papa?" cercaku. Mark terdiam. "dan dia menyuruhmu berbohong."

"Tidak!" jawab Mark tanpa ragu.

hatiku justru makin tak karuan mengetahui fakta bahwa putraku, dengan inisiatifnya sendiri, berbohong kepadaku.

"lalu kenapa? kenapa kau berbohong?" aku bertanya dengan putus asa.

Mark mengerang sedih, nampak hampir menangis. "karena papa tidak akan suka."

Hatiku rasanya seperti disengat ribuan tawon. Cukup dengan satu pernyataan itu aku sudah mampu meragukan diriku sendiri. Meragukan diriku yang berpikir bahwa aku mengenal putraku dengan sangat baik. Mengenal Mark yang tidak pernah membuatku memberi peringatan tiga kali untuk membuatnya berhenti melakukan suatu hal yang kularang.

Tapi sudah berapa banyak kata jangan yang kugunakan hanya demi membuatnya menjauhi Choi Seungcheol?

Rasanya hanya tinggal menghitung waktu sampai Mark benar-benar tidak mau mengindahkan ku lagi.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang