Nineteen

514 81 81
                                    

Pendingin ruangan ku bahkan tidak disetel namun aku tetap menggigil gemetar. Perasaan syok terhadap kejadian yang aku alami sore tadi masih menguasai. Masih tidak percaya bahwa Chanyeol berusaha mencium ku dan aku menolaknya. Betapa canggung dan memalukannya moment itu.

Aku bisa memastikan bahwa tidak ada hari yang lebih aneh dari hari ini. Hari dimana aku pertama kalinya membiarkan Seungcheol bertemu dengan Mark dan hari yang sama dimana aku bertengkar dengan Chanyeol karena pria itu.

Lucu bagaimana aku bisa berubah dari orang yang mati-matian menolak kehadirannya menjadi orang yang membelanya di hadapan teman kencan ku. 

Aku paham jika Chanyeol marah dan kesal padaku. Malahan aku juga paham kalau mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini. Siapa yang ingin menemui orang yang telah menolak mu mentah-mentah?

Chanyeol tidak bodoh. dia bukan Seungcheol, jelas-jelas bukan. Aku cukup yakin bahwa aku benar-benar sudah merusak hubungan apapun yang tengah terjalin di antara kami sekarang dengan sempurna. Namun untuk suatu alasan, ini tidak membuatku menyesal.

Mengencani seseorang pada saat ini tidak pernah menjadi pilihanku sejak awal, kendati aku melakukannya, itu karena Jeonghan. Karena Jeonghan berpikir aku butuh seseorang untuk membuatku tetap waras di tengah kemelut masalah bernama Choi Seungcheol. Namun memiliki pasangan bukanlah prioritas ku.

Toh aku selalu tahu bahwa ini akan berakhir, cepat atau lambat, seperti setiap hal-hal menyenangkan lain yang datang ke hidupku, yang tidak pernah berlangsung selamanya. Kecuali, tentu saja, Mark. harta kecilku yang berharga.

Aku hanya bisa berharap bocah itu menghabiskan lebih banyak waktu yang menyenangkan daripada aku yang hanya meringkuk di sofa, menjadi seonggok manusia bernyawa yang tak  berguna dan menyelami perasaan yang berkecamuk seperti orang linglung.

Seperti ketetapanku, Seungcheol akhirnya membawa bocah itu pulang 7 menit sebelum jam sembilan. Mark tampak lelah dalam gendongannya namun bocah itu tetap memberikanku senyuman pari purna ketika akhirnya aku mendekapnya.

Seungcheol mengulurkan tangan untuk mengusap rambutnya. "paman pulang dulu," pamitnya.

Mark menatapnya. "terimakasih paman," kata bocah itu.

Seungcheol menyunggingkan senyum. Dia menatapku sebentar dan jantungku menggila karena itu, bukan karena itu membuatku merasakan sesuatu tapi memang karena aku sudah gila. Lantas tatapannya kembali bergulir pada Mark. "Tidak, terimakasih untukmu karena sudah menemani paman, dan..." Dia berhenti sejenak, kembali menghujamkan pandangannya pada ku. "terimakasih pada papa mu karena telah mengijinkan ku meminjam anaknya yang keren untuk seharian ini."

Aku menundukkan kepala kian dalam ketika merasakan sapuan kehangatan menjalari pipi dan telingaku. Dan aku juga terkejut pada diriku sendiri karena mampu bertahan begitu lama berhadapan dengan Seungcheol, karena belum juga menutup pintu rumahku tepat di depan wajahnya walaupun aku sanggup.

"dadah paman." Mark peluk Seungcheol singkat kemudian mereka melakukan tinju tos.

"dadah," kata Seungcheol sambil melambaikan tangan.

Dia mengedikkan alis padaku yang aku pikir adalah caranya mengatakan selamat tinggal padaku, jadi aku berdehem lantas dengan itu Seungcheol pergi.

Aku baru saja berniat menutup pintu ketika tiba-tiba Mark berlari keluar, berdiri di koridor, tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada udara kosong di depannya. Tapi aku tahu benar untuk siapa itu ditujukan, dan kurasakan hati mencelus karenanya.

"Ayo Mark masuk, sudah malam."

***

"... dan dengan penuh kegembiraan mereka menuju istana sang pangeran, tempat mereka hidup bahagia bertahun tahun lamanya ... selesai." Aku menutup buku, menaruhnya di nakas, di tempat  seharusnya benda itu berada. Mark menguap di sampingku dan aku terkekeh. "cepat lah tidur," ucapku seraya mengecup keningnya.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang