Fifty Three

502 72 133
                                    

Aku terbangun esok paginya di hari sabtu dengan tubuh yang lebih segar.

Tubuhku bergelung dengan nyaman di bawah selimut dengan posisi menyamping.  Kali pertama aku membuka mata, aku disapa oleh pemandangan Seungcheol yang baru selesai mandi. Dia tengah menarik celananya. Posisinya membelakangiku. Ku perhatikan ketika buliran air dari rambutnya yang basah mengalir di sepanjang punggungnya.

Sekejap aku memejamkan mata dan mengingat bagaimana punggung itu di tanganku, dan leher itu di bibirku. Ku coba mengingat apa yang terjadi semalam, kubiarkan memori itu menenangkan diriku, menghangatkan dadaku lebih dari yang sinar mentari pagi ini lakukan.

Ketika aku kembali membuka mata, dia sudah mengenakan kemejanya tadi malam dan tengah memandangku. Matanya bulat dan jernih dalam sinar cerah matahari yang menerobos masuk lewat jendela. "Aku tidak membangunkan mu, kan?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Selamat pagi?" Kataku ragu-ragu.

Aku tidak yakin pukul berapa sekarang.

Seungcheol tersenyum. "Pagi."

Dia mendudukan diri di dekatku, kemudian mencondongkan tubuh untuk mempertemukan bibir kami. Seungcheol mengecup bibir ku sekali. Kami terdiam beberapa saat dengan jidat yang saling menempel dan hidung yang saling bergesekan, hanya tersenyum pada satu sama lain, menikmati bagaimana napas kami saling beradu. Lantas kami berciuman lagi. Kali ini lebih dalam.

Satu tangan Seungcheol menyusup di bawah leherku, mendorong tengkukku mendekat dan memintaku mendongak untuk memperdalam ciuman. Sedangkan satu tangannya mengusap punggungku. Waktu akhirnya ciuman kami berhenti, aku kehabisan napas dan pusing karena kebahagiaan yang meluap-luap.

"Sakit tidak?"

Pertanyaan itu mungkin terdengar ambigu bila Seungcheol tidak mengusap-usap punggung bagian bawahku, bagian dimana rasa nyeri dalam tubuhku berpusat. Aku tidak menyadari rasa sakit itu sampai aku mencoba merubah posisi.

Aku tahu benar rasa sakit itu disebabkan oleh apa. Ingatan akan apa yang kami lakukan malam tadi memenuhi kepalaku, menggiring kupu-kupu ke dalam perutku.

Aku merasakan diriku tersipu-sipu.

"Sedikit." Jawabku. Seungcheol tidak mengatakan apapun. Dia tersenyum lembut, namun dahinya berkerut, tidak kentara tapi berkat jarak di antara kami yang begitu dekat, aku dapat menyadari itu. Seolah ada sesuatu yang menganggu pikirannya. "Hanya sedikit, sungguh." Lanjut ku, berusaha menyakinkan.

Aku tangkup wajahnya di salah satu tanganku, mengusap pipinya lembut.

Seungcheol kemudian membawa telapak tanganku ke bibirnya. Matanya terpejam sementara bibirnya masih senantiasa berada di telapak tanganku. Begitu, Seungcheol nampak damai, seolah dia sedang menggunakan sebaik-baiknya waktu untuk menikmati momen itu.

Namun ketika matanya kembali terbuka, aku ditatap oleh pandangan gusar yang sama.

Kemudian sebuah kesadaran menghantam benakku: ini mungkin ada hubungannya dengan apa yang terjadi tadi malam. Ya, sudah pasti karena itu.

"Hyung, maafkan aku." Ujar ku.

Seungcheol memindahkan tanganku dari bibirnya. "Untuk?" Alisnya bertaut.

"Aku-aku... Kau tahu-" Aku benar-benar tidak percaya harus mengatakan ini keras-keras. "Aku tertidur. Aku tahu kau kecewa. Aku tidak seharusnya-"

"Hei, hei." Seungcheol berkata dengan terburu-buru. Kini gantian wajahku yang ditangkup tangannya. "Tidak, tidak. Semalam itu sempurna. Bahkan ribuan kali lebih baik dari apa yang kubayangkan."

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang