twenty two

511 75 35
                                    

"kau tidak menjemput Mark?"

Aku mendongak dari ponsel di tanganku, menatap ke seberang ke arah bumzu yang tengah sibuk menikmati mangkuk bingsu keduanya.

Dahinya berkerut kemudian dia tunjukkan jam yang tertera di ponselnya padaku seolah aku tidak bisa mengeceknya sendiri di ponsel yang jelas-jelas sedang kubawa.

Ini memang waktunya aku menjemput Mark tapi kali ini aku tidak perlu khawatir akan itu sebab Seungcheol yang akan melakukannya.

"Sudah ada seseorang yang akan menjemputnya," jawabku lantas kembali manatap layar ponsel, meladeni pesan kakaotalk dari Chanyeol yang sepertinya memilki hasrat menjadi guru konselingku, karena aku belum menemukan alasan kenapa ada seseorang yang ingin tahu setiap detail dari kegiatan yang aku lakukan kecuali itu.

"Jeonghan?"

Aku terdiam beberapa saat sebelum memutuskan untuk meng-ia-kan, sebab mana mungkin kukatakan yang sebenarnya bahwa bukan Jeonghan atau siapapun yang dia duga akan menjemput putraku, melainkan ayah bocah itu sendiri yang bahkan tidak pernah ku singgung sepanjang pertemanan kami berlangsung.

Seungcheol masih memiliki shift di akhir pekan, setidaknya itu yang dia katakan padaku, jadi hari ini kubiarkan dia menjemput Mark, malahan aku yang memintanya. sebuah keputusan briliant yang kubuat demi menyusutkan kesempatanku bertatap muka dengan pria itu.

Akhir-akhir ini aku mulai tidak mempercayai diriku sendiri.

Hidupku belakangan bak berada di atas tebing curam yang berdiri goyah di antara dua jurang. Jurang itu adalah hidupku sebelum Choi Seungcheol datang dan yang satunya adalah hidupku dalam kondisi terkakhir ini, saat Choi Seungcheol adalah seseorang yang rutin ketemui setidaknya seminggu sekali. Dan aku tidak lagi yakin mana yang lebih baik, terjerumus ke dalam jurang sebelum Choi Seungcheol datang atau saat ini.

Jika tolak ukurnya adalah kebahagian Mark tak dipungkiri aku akan langsung menjeburkan diri ke dalam kehidupan ku yang sekarang. Namun sebaliknya, jika kudengarkan sebagian dari diriku yang melankolis dan egois, aku akan selalu memilih hari-hari dimana Choi Seungcheol tidak muncul begitu saja di rumah sakit, menyapaku dan bertemu dengan putraku yang kakinya baru saja terkilir, jadi aku tidak perlu berurusan dengan perasaan semacam ini lagi.

Satu yang pasti dari situasi ini, ini tidak seburuk yang aku kira dan kurasa aku mulai menyukainya. Menyukai situasi ini, maksudku. Tentu saja.

Tidak semua hal bisa kau kerjakan sendiri Lee Jihoon.

Aku masih bisa mendengar suaranya di dalam kepalaku dan mengejutkannya itu sama sekali tidak membuatku terganggu.

"bukankah ini hari terakhir Mark sekolah sebelum libur musim panas?" Tanya bumzu. Aku mengangguk. "apa yang akan kalian lakukan saat liburan musim panas nanti?"

"aku sudah berjanji akan mengajaknya pergi ke rumah kakek dan neneknya, jadi kami mungkin akan berada di sana selama musim panas."

Itu adalah janji yang kubuat saat Mark masih sakit. Dulu bocah itu tidak pernah lupa mengingatkanku untuk menepati janji itu, sekarang sepertinya jadwal mingguan dia dan Seungcheol telah mengalihkannya.

"Dua minggu penuh?"

Aku menggeleng. Jatah cuti ku untuk satu tahun hanya 2 minggu.

"Mungkin hanya satu minggu, atau sampai ulang tahun Mark karena kami akan merayakannya di sana."

"Dan jeonghan tidak keberatan?"

Sebenarnya justru perasaan Jeonghan bukan satu-satunya hal yang aku khawatirkan. Masalah terbesar adalah pendapat Seungcheol. Sulit menerka apakah pria itu akan keberatan jika kuambil satu pertemuannya dengan Mark.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang