twenty three

465 78 17
                                    

Aku selalu tahu cara menenangkan putraku. Aku selalu tahu cara membujuk Mark, membuatnya berhenti merajuk, itu adalah keahlian yang telah kupelajari selama tujuh tahun, tidak mungkin aku tidak handal.

Tapi untuk kali ini, aku tidak tahu caranya.

Dan bahkan dengan semua yang kami lalui selama hampir tujuh tahun ini, aku belum pernah melihat Mark begitu sedih. Mengerikannya itu semua disebabkan olehku. Lebih mengerikannya lagi aku membuatnya sedih menjelang hari ulang tahunnya.

Lee Jihoon, producer, penulis lagu, dan orang tua yang payah. Seharusnya itu yang tertulis di kartu tanda pengenalku. Seharusnya begitu aku dikenal.

Karena ini liburan aku menitipkannya seharian pada Jisoo, yang juga tidak akan mengajar hingga liburan musim panas selesai, sampai aku menjemputnya setelah pulang kerja.

Ini adalah sesuatu yang selalu aku lakukan, tapi tidak seperti biasanya, tidak pernah sekalipun aku mendapat panggilan dari nomor pribadi Jisoo dengan suara kekanak-kanakan Mark di ujung sana menanyakan apa aku sudah makan, apa yang aku makan, apa yang sedang aku lakukan, jam berapa aku akan pulang, menjemputnya dan menonton tv bersamanya.

bahkan setiap kali aku menjemputnya Mark tidak menceritakan harinya secara sukarela dan antusias.

aku tahu walaupun dia tidak mendiamkanku, aku tahu dia masih kecewa padaku. Aku tahu aku masih membuat ulang tahunnya seperti guyonan kejam april mop.

Aku tidak pernah menduga akan membuatnya sedih sampai pada titik ini.

Kami sudah akan pergi besok tapi aku belum juga bisa mengembalikan suasana hati Mark seperti sedia kala.

Bahkan pagi ini Mark tidak mau repot-repot membangunkanku, Ace melakukannya, dengan gonggongan dan jilatan penuh liurnya.

Matahari nyatanya telah menyingsing begitu tinggi di atas ketika aku menyibak korden di kamarku.

Aku meraih handuk dari jemuran bersiap untuk mandi dan menemukan Mark sudah bersiap-siap untuk jadwal mingguannya dengan Seungcheol di ruang tamu.

Bocah itu sudah berpakaian rapi, mengenakan kaos polo berwarna merah muda, celana pendek putih yang senada dengan warna garis di lengan baju dan kerahnya, tengah sibuk mengepak barang-barang yang ingin dia bawa seperti botol air minum, beberapa camilan, tabir surya, dan hand sanitizer, memasukan itu semua ke dalam tas anak ayamnya.

"kau sudah bawa epipen?" Tanyaku. Belajar dari pengalamannya kemarin, aku selalu meminta Mark untuk membawa obat-obatannya sendiri setiap bepergian tanpa aku. Mark mengangguk. "Sudah sarapan?" Mengangguk lagi. "Sudah minum susu?" Menggeleng.

Aku memutuskan untuk menunda mandi dan pergi ke dapur, membuka kulkas dan langsung mengerti kenapa Mark belum minum susu. Aku meletakannya terlalu tinggi.

Kutuangkan susu ke dalam gelas kemudian kuberikan kepada Mark yang untungnya tidak keberatan menerima itu. Kuusap kepala bocah itu kemudian menciumnya.

"Terimakasih," katanya pelan.

Aku bergumam sebagai jawaban. Aku mendudukan diri di lengan sofa tepat di samping Mark. "Kemana kalian akan pergi nanti?"

"Sea life aquarium," jawab Mark.

Aku tidak suka cara mata itu menghindari tatapanku.

Aku menghela napas. Aku sudah tidak punya lagi alasan untuk membujuk Mark. Toh jika aku mencoba aku khawatir itu hanya akan memperburuk keadaan.

Hukum Lee Jihoon yang pertama : presentase keberuntungan selalu anjlok saat aku memilih membuka mulut.

Sudah baik bocah itu tidak mendiamkanku.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang