Thirty Four

409 69 40
                                    

Aku sadar aku ingin mengatakannya kepada Seungcheol selama bertahun-tahun. Bahwa aku menyalahkan dia atas semua yang terjadi, mengutuknya karena membelokkan takdirku. Namun sekarang, begitu pria itu disini, semua kemarahanku terkuras habis, hanya menyisakan sebuah perasaan di hatiku yang membuatku gemetar setiap kali sosoknya dan bayangannya muncul di hadapanku, pun di dalam pikiranku.

Setelah sampai pada titik ini aku baru tersadar bahwa keinginanku dan perasaanku tidak lebih penting dari keinginan dan perasaan anakku. Mark, mengejutkannya, sama sekali tidak merasa kesulitan untuk menyukai Seungcheol.

Dengan kondisi Mark yang seperti ini, aku semakin takut untuk mengatakan yang sejujurnya, semakin sulit berbohong pada diriku dan mengatakan bahwa tidak sedikitpun aku merasakan apa yang Mark rasakan pada Seungcheol, dan hanya aku yang tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan. 

Saat aku pertama kali bertemu dia di rumah sakit setelah 6 tahun tidak pernah bertemu, aku tidak bohong, Seungcheol praktis adalah orang asing yang kutitipi amarah selama bertahun-tahun. Sekarang, lambat laun aku mulai bisa melihatnya sebagai Choi Seungcheol, teman semasa sekolahku.

Dan waktu nyatanya tidak menghilangkan perasaan yang kumiliki kepadanya pada saat itu, waktu hanya membuatku lupa, mengalihkanku. Namun sekarang dengan kehadirannya disini aku tidak dapat lagi mengabaikan perasaan itu. Bukan amarah, melainkan yang tersisa justru perasaan yang tidak pernah berani kuungkapkan sedari dulu.

Aku tidak bisa mengatakan itu, tidak kepada siapapun, tidak bahkan setelah tujuh tahun. Sayangnya aku terlanjur membuat keputusan buruk dengan datang ke rumah Jeonghan, meskipun kedatanganku ke sini semata-mata untuk membawa pulang Ace, Jeonghan tidak menolerir. 

"Jadi?" Jeonghan meletakan segelas smoothie mangga dan sepiring penuh chapssaltteok di hadapanku sebelum menjatuhkan diri di sampingku. 

Jika Jeonghan meberikan sesuatu padamu, itu hanya berarati satu, bahwa dia menginginkan sesuatu darimu. Dan kau tidak akan bisa menghindar, kecuali kau pergi sangat jauh ke tempat terpencil, membuat identitas baru, atau memalsukan kematian. Maksudku kalian benar-benar tidak bisa.

Aku yakin, jika saja malam ini aku tidak membawa Mark, yang ada di hadapanku sekarang pasti segelas margarita karena hanya dengan begitu Jeonghan bisa membuatku bicara.

Bicara tentang Mark, bocah itu sedang bersama Jisoo sekarang, mengelilingi rumah dengan skuter baru, hadiah dari paman-pamannya.

Aku menyesap smoothie mangga itu, menyecap rasa asam dan manisnya di lidahku sebelum memberikan Jeonghan tatapan tidak mengerti. "Hmm?"

Jeonghan menyandarkan sikunya di sandaran sofa, kemudian menyandarkan kepalanya di sana. Gestur yang kelewat santai untuk pembahasan yang akan membuat kepalaku cenat-cenut.

"Tuan Choi Seungcheol?" Sesaat aku terkejut mendengar Jeonghan menyebut namanya. Nama itu selalu menjadi rahasia kecil bagiku selama tujuh tahun. Sekarang, mendengar hampir setiap orang di hidupku menyebut nama itu dengan leluasa terasa agak aneh, sangat aneh. Aku mengedikan bahu menanggapi pertanyaan Jeonghan,  membuat Jeonghan mengernyitkan dahi. "Apa maksudnya itu?"

"Aku tidak tahu."

Jeonghan menegakkan tubuhnya, pertanda kalau dia sudah tidak sabar. "Dan apa maksudnya kau tidak tahu?" Aku kembali mengedikkan bahu. "Ayolah, Jihoon. Aku tahu kau ingin mengatakan sesuatu." Benarkah? Kenapa aku ingin? aku bahkan tidak siap. "lagipun jika kau sedang merasa tidak ingin mengatakan apapun, kau sudah janji. ayolah, berikan aku sedikit imbalan. Aku membawa Ace ke salon kemarin."

"Aku tidak meminta." Aku membela diri.

"Kau tahu maksudku. Katakan sesuatu, apapun, aku akan mendengarkan."

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang