Two

1K 134 65
                                    

Hanya jika ada orang yang mau repot-repot bertanya 5 hal tentang Mark: buku, lagu, warna, orang, kebiasaan buruk, film, aku bisa membuat itu menjadi beribu-ribu hal. Mulai dari film, buku, lagu, hobi, kebiasaan buruk, cita-cita, orang-orang yang dia suka sampai dia benci, dan tempat-tempat yang menurutnya spesial seperti taman bermain dan kebun binatang aku bisa memberikan jilidanya.

Memalukan jika aku melewatkan satu detail kecil saja tentang putraku setelah apa yang telah kami lalui bersama.

Aku mengingat berapa gigi susunya yang sudah lepas, mengingat jam berapa dia akan bangun di tengah malam untuk minum segelas air dan buang air kecil, aku tahu apa yang dia mau atau katakan bahkan saat dia tidak mengatakan apapun.

Sedekat itu, selalu sedekat itu, seolah-olah dia tercetak dari hati dan pikiranku. Menjadi bagian dari hidupku yang tidak pernah aku lupakan.

Tapi tidak begitu dengan hari ini. Masalahnya, untuk pertama kalinya selama enam tahun kami bersama aku baru tahu jika--

"Mark juga jago main sepak bola?" Jeonghan yang duduk di sampingku melontarkan satu pertanyaan yang membuat diriku sendiri terkejut.

Jujur, aku tidak terlalu terkejut dengan fakta bahwa Mark bisa bergerak lebih lincah menggocek bola daripada aku saat seumurannya. Dia anakku, dia adalah revisi diriku.

Yang membuatku terkejut adalah kenyataan bahwa Mark lagi-lagi menunjukan padaku bahwa dia hanya membawa sebagian kecil dari diriku, aku lupa bahwa selebihnya Mark memang seperti dia.

Tapi bukan itu jawaban yang kuberikan pada Jeonghan. "Tentu, apa yang tidak bisa dia lakukan?"

Jeonghan menusuk tulang igaku dengan sikunya. "Kau mulai sombong ya sekarang."

Kemudian kami tertawa, saat itulah Jisoo datang dari pelataran rumahnya di mana Mark masih setia berdiri dan memainkan bola dengan kakinya tanpa lelah, terkadang mencoba mengoper benda bulat berwarna hitam putih itu kepada Ace untuk kembali digiring dengan dua kaki depannya kepada Mark.

Jisoo terengah-engah dan berkeringat yang otomatis membuat pria yang pernah tinggal begitu lama di Los Angeles itu menjadi 'orang tua' sesungguhnya.

Tapi memang tidak ada seseorang pun di antara kami yang masih muda.

Bahkan aku sudah menyandang status 'orang tua' sejak enam tahun yang lalu.

"Kau beri sarapan apa Mark tadi pagi?"

Aku hanya bisa tertawa. Mana bisa kukatakan bahwa tidak masalah apapun yang Mark makan, dia memang terlahir sebagai atlet, itu ada dalam darahnya.

Entah kenapa bertahun-tahun mengenal pasangan ini tidak lantas membuatku begitu mudah terbuka kepada mereka.

Jeonghan adalah sepupu jauhku, orang yang mengajakku pindah ke Busan dan membiarkanku tinggal di rumahnya selama beberapa bulan saat awal kepindahan, walaupun dia sudah tinggal bersama suami nya, Jisoo, orang yang dengan baiknya telah memberikan posisi produser di kantor rekaman milik seorang kenalannya padaku. Sejak saat itu kami seolah membuat kesepakatan secara tersirat bahwa Mark adalah putra kami bertiga.

Itupun tak lantas membuat mereka tahu segalanya. Mereka hanya tahu nama Choi Seungcheol tanpa mengerti siapa pria itu sebenarnya, tanpa tahu seberapa terobsesinya pria itu dengan olahraga sebelum akhirnya dia memilih untuk meneruskan profesi turun temurun keluarganya, dokter. Pun aku tidak ingin menjelaskan selama mereka tidak mencoba mengulik, walaupun aku tahu bungkamnya mereka semata-mata untuk menungguku siap bercerita. Namun saat itu tidak pernah datang, aku tidak pernah siap.

Bahkan aku belum membayangkan jawaban yang harus kuberikan pada Mark jika akhirnya dia menuntut penjelasan tentang sang ayah --yang bahkan tidak pernah dia dengar namanya.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang