Fifty One

612 72 143
                                        

Aku tidak dapat lagi memandang dapurku dengan cara yang sama. Setelah serangkaian hal yang kulakukan bersama Seungcheol disana, aku tidak dapat memandang tempat itu tanpa mengingat bagaimana Seungcheol memelukku disana, atau bagaimana bibirnya bertengger di-

"Papa?" Aku tersentak, terkesiap cukup keras hingga membuat diriku sendiri terkejut. Kutatap Mark, yang entah sejak kapan, berdiri di sampingku. Bocah itu mendongak, raut wajahnya dipenuhi keheranan. "Ada apa?"

Dia terdengar cemas, yang mana membuatku semakin--apa sebutan untuk perasaan di atas malu?

Aku menggeleng.  "Sudah selesai mandinya?" Mark mengangguk meskipun itu sejujurnya pertanyaan retoris untuk mengalihkan topik. Toh, aku pun bisa menemukan jawaban dari pertanyaan ku hanya dengan melihat dari pakaian yang Mark kenakan. "Tunggu sebentar, papa akan menyiapkan sarapan." Aku mengusak surai nya.

Mark mengangguk, dia kemudian mengikuti ku memasuki dapur dan duduk manis di kitchen island sementara aku menyiapkan bahan-bahan untuk membuat roti isi.

Lalu ponselku berdering samar di suatu tempat di mana aku meletakan nya terakhir kali: di atas tempat tidur, di dalam kamar.

Aku meletakan lagi mentimun yang tadinya ingin kupotong, dan sebuah pisau, berniat mengambil ponsel, namun Mark buru-buru berseru. "Biar aku ambilkan!"

Sebelum aku sempat mengatakan apapun, Mark melompat dari kursinya dan beranjak pergi.

Tak berapa lama, bocah itu kembali dengan ponselku yang masih senantiasa berdering di tangannya. "Appa menelpon!" Dia membuat pengumuman dengan antusias.

"Ya?" Aku melanjutkan memotong mentimun.

"Aku yang angkat ya, please?" Mark menunjukkan tatapan handalannya meskipun itu sebenarnya tidak perlu.

Aku tersenyum geli. "Silahkan."

Aku tahu telepon itu sejujurnya memang untuk Mark.

Senyum Mark mengembang lebih lebar. Bocah itu naik lagi ke atas kursi sebelum menggulirkan tangannya di layar ponsel untuk menjawab panggilan itu sebelum mengangkat ponselku ke depan telinganya dan berkata, "Halo!"

Sebab aku tidak bisa mendengar suara Seungcheol di ujung sana, ada kesunyian sesaat ketika Mark menunggu apa yang Seungcheol katakan kemudian, masih dengan senyum yang terplester di wajah, bocah itu mengangguk-angguk dan mengatakan sesuatu seperti, "Sudah." Dan, "Oke."

Lalu diam sesaat, kemudian Mark menatapku dan berkata,
"Papa sedang menyiapkan sarapan." Tak lama Mark mengulurkan ponsel itu padaku. "Papa."

Aku menaikan alis namun tetap menerima benda itu dengan satu tangan, kemudian menghimpit nya di antara bahu dan pipiku, jadi aku tetap dapat menggunakan kedua tangan untuk menyiapkan sarapan.

"Halo?"

"Hei."

"Ada apa?"

"Aku hanya mau bilang.."  Seungcheol menjeda. Aku bergumam dan dia kembali melanjutkan. "Maaf untuk yang kemarin."

Aku menghela napas, sengaja keras-keras supaya Seungcheol tahu betapa jengah nya aku mendengar kata itu. "Kau sudah minta maaf sejak kemarin."

"Tapi kau belum memaafkanku."

Sebenarnya, aku bahkan sudah lupa kalau aku sempat merasa jengkel padanya, tapi karena Seungcheol membawa lagi topik itu, aku tidak kuasa untuk tidak merasa jengkel lagi.

Aku berhak untuk merasa begitu, bukan? Maksudku, aku bisa saja mengerti kalau Seungcheol ingin memiliki obrolan pribadi dengan siapapun termasuk ayahku, namun karena tidak sekali dua kali dia menyembunyikan hal dariku, hanya untuk membuatku terkejut, sesuatu yang sudah jelas tidak kuhargai, bukan salahku kalau aku mulai memiliki masalah kepercayaan padanya.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang