Fourty Eight

535 73 114
                                    

Suara alarm membangunkan ku. Aku mengulurkan tangan, berniat mematikan benda itu namun mataku mencelang terbuka ketika tanganku justru menyentuh sesuatu yang lain.

"Hei," Seungcheol tersenyum. Dia menangkap tanganku yang tanpa sengaja menyentuh dadanya. "Maaf membangunkan mu." Dia menggoyang-goyangkan jam digital di satu tangannya yang lain.

Kurasakan pipiku memanas. Astaga, ini bahkan belum satu menit sejak aku membuka mata.

Bagaimana mungkin aku bisa lupa bahwa aku sedang tidur bersama Seungcheol. Fakta seperti itu harusnya sukar untuk terlupakan.

Seungcheol menegakan punggungnya hingga kini kepalanya bersandar pada headboard. Membuatku harus mendongak jika ingin menatap matanya.

Kepalaku diuusapnya perlahan. "Kau baik-baik saja?" Aku mengangguk. Malahan, aku lebih dari sekedar baik-baik saja. Aku merasa seperti berada dalam kisah yang sedari dulu hanya bisa ku idam-idamkan. Sebuah kisah yang jelas akan memiliki akhir yang bahagia. "Tidurmu nyenyak?"

Kembali aku mengangguk. Kemudian aku menyadari sesuatu.

Aku mendongak, memanjangkan leher untuk memandang Seungcheol. "Hidungmu..?"

Seungcheol tersenyum. "Sudah baik-baik saja."

Meskipun dia berkata demikian, aku tetap tidak bisa berhenti merasa bersalah. Namun Seungcheol kembali berkata, "aku baik-baik saja, Jihoon. Sungguh."

Aku melirik jam digital di samping tempat tidur. Layarnya menampilkan angka tujuh nol tiga. "Tidak berangkat kerja?" Tanyaku.

Seungcheol masih senantiasa mengusap kepalaku ketika dia menjawab, "Masih ada beberapa jam. Aku akan mengantar kalian dulu."

Aku menaikan alis. "Aku bawa mobil, ingat?"

Seungcheol terkekeh dan mengangguk. Obrolan membeku sejenak. Aku sendiri sedang sibuk menikmati usapan Seungcheol pada suraiku. Sedangkan untuk Seungcheol, aku tidak tahu kenikmatan apa yang dia dapat dari mengusap kepalaku, namun aku tidak akan mengeluh sekalipun dia ingin melakukan ini terus-menerus. Aku bahkan menikmati kecanggungan yang merebak di antara kami seiring detik demi detik.

Setelah beberapa saat akhirnya Seungcheol memecah hening. "Menginap disini lagi?" Tanyanya. Ragu-ragu aku menggeleng. "Kau merasa terganggu dengan yang tadi malam?"

Aku menggeleng lagi. "Tidak."

Seungcheol tampak ragu dengan jawabanku.

Tapi sungguh, apa yang terjadi tadi malam bukanlah alasan kenapa aku menolak tawarannya menginap. Kenyataannya, ini semua terasa berlebihan; mendapati Seungcheol disini, mengetahui bahwa dia menyayangi Mark dan bahwa dia menginginkanku. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat dengan semua ini. Aku masih sulit percaya bahwa segala yang terjadi ini mungkin dan nyata, bukan anganku semata.

Ketakutan itu masih ada. Aku takut kalau semuanya terjadi dengan terburu-buru maka semua ini akan berkahir pula dengan cepat, dan aku tidak mau itu.

"Kalau kau merasa terganggu, katakan padaku." Usapannya pada kepalaku berhenti. "Aku tidak akan melakukannya lagi."

Aku mendorong tubuhku untuk bangkit serta merta, hingga kini aku duduk di samping Seungcheol. "aku tidak terganggu, Cheol. aku--" Aku menelan ludah, menarik napas, kemudian memandang jauh ke dalam matanya. "aku mau kau menyukaiku sesuka kehendakmu."

Seungcheol terdiam. Keterdiaman yang cukup untuk membuatku ingin membungkus diriku rapat-rapat dengan selimut Seungcheol yang luar biasa wangi ini.

Seungcheol menangkup pipiku. "Dan itu berarti....?"

Bagaimana mungkin dia tidak mengerti. Bagaimana mungkin dia setega ini melihatku memerah seperti kepiting rebus.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang