Thirty One

425 77 85
                                    

Hari ini kesialan ku singkat saja. Aku kalah main lempar koin dengan putraku, hanya karena itu aku harus menuruti kemauannya.

Sebenarnya menuruti kemauan putraku selalu menjadi hal mudah yang bisa kulakukan untuknya, itu biasanya menjadi hal terakhir yang menjerumuskan ku dalam kesialan.

Mark bocah sederhana, kemauannya pun tidak pernah muluk-muluk. sebenarnya kali ini pun begitu. Dia ingin aku bermain bersamanya di pantai, sesederhana itu. Jika saja Mark tidak mengajak serta Choi Seungcheol.

Tanpa banyak alasan Seungcheol menyanggupi, membuatku menjadi pihak yang harus mencari 1001 alasan untuk menghindar.

Seribu satu alasan pun nyatanya belum cukup untuk mengurungkan niat Mark mengajakku. Yang ada justru sebaliknya. Semakin aku menolak, semakin Mark bersi keras membujukku ikut. akhirnya aku mengusulkan untuk melakukan lempar koin. 

Dan disinilah aku sekarang, dikhianati oleh keberuntungan, duduk beralaskan butiran-butiran halus pasir pantai,  di bawah terik matahari yang tanpa ampun menyengat kulit, diterpa hembusan angin laut beraroma khas garam, menjadi penonton bagi keseruan kecil yang diciptakan Mark, Donghyuck dan Seungcheol.

Di bibir pantai mereka mencoba menerbangkan layang-layang yang tadi sempat kami beli di toko setempat.

Mark dan Donghyuck sudah basah kuyup akibat permainan gulat air buatan Donghyuck™ yang sempat mereka lakoni beberapa saat yang lalu setibanya kami di pantai. Sedangkan Seungcheol membuat celananya basah karena mencoba menjadi wasit bagi keduanya. Tapi itu tidak menghentikan mereka untuk tetap bermain.

Bersama-sama Mark dan Donghyuck memegang layang-layang, menunggu arahan Seungcheol sementara pria itu mencari posisi yang tepat agar sesuai dengan arah datang angin. Setelah dirasa tepat, Seungcheol menginstruksi kedua bocah itu untuk mundur perlahan-lahan.

"Sudah." Seungcheol mengangkat tangannya, isyarat universal untuk berhenti.

Bersama mark dan Donghyuck berhitung. Dalam hitungan ketiga mereka melambungkan layang-layang itu. Keduanya kemudian menatap takjub layang-layang yang sekarang melambung tinggi di langit.

Seungcheol menawari Mark untuk memegang gulungan benang. Bocah itu mengangguk, segera tangannya menggenggam gulungan benang. Di sampingnya Donghyuck bersorak, meminta Mark mengulur lebih tinggi.

Layangan itu sekarang hanya berupa segi empat kuning mungil yang melayang di antara hamparan biru langit.

Saat Mark dan Donghyuck sibuk dengan layangan mereka, Seungcheol membalikkan tubuhnya, menghadap ku. Kulihat senyum samar-samar terkembang di wajahnya yang membuat matahari seolah pindah ke dalam dadaku.

Aku tidak bisa melakukan apapun selain menunduk.

Kumohon jangan kemari. Rapal ku dalam hati. Kumohon jangan.

Aku paham betapa kesepian dan senewen aku kelihatannya, tapi jika Seungcheol kemari aku yakin itu tidak akan memperbaiki apapun, justru sebaliknya.

Namun setelah semua ketakutan dan kekhawatiran yang aku rasakan bahwa dia akan mendatangiku, saat aku kembali mendongak Seungcheol nyatanya telah kembali memunggungi, dan ikut menyoraki Mark seperti Donghyuck.

Kuharap pasir ini menghisap ku hidup-hidup.

Tentu dia tidak akan menghampiriku. Bagaimana bisa pikiran semacam itu hinggap dalam kepalaku.

Tapi bukankah ini seharusnya membuatku lega alih-alih malu?

Mark menolehkan wajahnya yang sumringah padaku. Aku bertepuk tangan kemudian menempatkan tanganku di mulut dan berseru. Mark tersenyum semakin lebar, tangannya yang tidak sibuk memegang benang layangan melambai-lambai, memanggilku untuk kesana.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang