"Papa lihat!" Seru Mark.
Aku menghentikan kegiatanku di dapur, meletakan pisau dan meninggalkan kimbap yang belum sepenuhnya terpotong untuk berderap ke kamar mandi, di mana arah sumber suara Mark berasal.
Di depan wastafel Mark berdiri, wajahnya berada terlalu dekat dengan cermin seolah sedang mengamati sesuatu.
"Ada apa?" Tanya ku.
Mark menoleh. "Lihat papa."
Dia membuka mulutnya. Dengan lidahnya Mark mendorong gigi bagian atas, gigi itu kemudian bergerak maju mundur sekehendak lidah Mark menggerakkannya.
"Oh." Kataku. Aku memegang wajahnya agar dapat memperhatikan giginya dengan seksama. "Tidak apa-apa. Sepulang sekolah kita ke dokter gigi untuk mencabutnya." Aku tersenyum kemudian menepuk-nepuk pipinya.
Mark mengangguk. Dia meraih sikat gigi bergagang dinosaurus dari wadah dan sebuah odol.
"Hati-hati menggosok giginya." Wanti ku. Mark mengangguk, namun sebelum mulai menggosok gigi, aku sadar bocah itu diam-diam mendorong giginya lagi dengan lidah. "Berhenti menggoyang-goyangkannya, sayang."
Mark meringis.
***
Ini bukan pertama kalinya Mark ke dokter gigi, atau pertama kalinya dia mencabut gigi, tapi aku maklum bahwa dia merasa gugup sekarang.
Terakhir dia mencabut gigi adalah dua tahun yang lalu. Bocah itu tentu lupa bagaimana rasanya. Dia mungkin gugup sebab tidak dapat mengingat seberapa sakit rasanya dicabut gigi.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan dokter gigi, bahkan ketika kami telah sampai, mata Mark tak henti memandang ke atas, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Halo, siapa namamu?" Dokter itu bertanya, membuat Mark terperanjat dari lamunan.
Dia menatap tangan sang dokter yang terulur di depan wajahnya sejenak sebelum melepaskan tangannya yang menggandengku untuk menjabat tangan itu.
"Mark Lee," Jawab Mark, terdengar malu-malu. Namun jika benar bocah itu malu-malu, Mark tidak terlalu menunjukan nya.
"Oh. Aku tahu siapa kau." Pria itu berkata. Dia kemudian mengalihkan pandangannya padaku. "Kalian datang ke pesta ulang tahun dokter Choi, benar?"
Aku mengangguk ragu sebab masih tidak dapat mengingat dimana tepatnya aku pernah melihat wajah pria ini. Sedangkan Mark menjawab, "Ya." Dengan tegas.
"Kita pernah bertemu sebelumnya." Kata si dokter pada Mark sambil tersenyum, senyum yang terlalu lebar untuk dikatakan wajar.
Mark mengangguk, membenarkan. Jelas bahwa aku tidak berbagi ingatan yang sama dengan mereka. Satu-satunya orang yang sempat berbicara denganku di pesta itu hanya Seungyeol. Mungkin ketika Seungcheol membawa Mark untuk dikenalkan kepada temannya, pria ini adalah salah satu di antaranya.
"Jadi, ada apa? Terlalu banyak makan permen?" Tanyanya pada Mark.
"Gigiku goyang," Jawab Mark.
Dokter itu tersenyum. "Naik kesini kalau begitu." Dia menepuk kursi dental. Dibantu oleh salah satu asisten dokter, Mark naik ke atasnya. "Kau tidak takut, kan?"
Mark menggeleng. "Tidak."
"Anak pintar."
Tidak sampai tiga puluh menit gigi Mark sudah tanggal. Dia punya senyum yang tidak sempurna sekarang, namun secara mengejutkan justru sangat menggemaskan. Di tempat yang beberapa saat yang lalu merupakan giginya yang goyang, sekarang hanya ada kapas. Sebab harus menggigit kapas itu terus-terusan, Mark alhasil hanya mampu berkomunikasi dengan cara bergumam, menggeleng atau mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
What If? (JICHEOL)
Fiksi PenggemarBagaimana jika aku berhasil mencegah Seungcheol malam itu? Bagaimana jika aku menolak untuk menjemputnya? Bagaimana jika aku memberitahunya tentang malam itu? Apakah Seungcheol akan menerimaku dan membatalkan kepergiannya, rencana masa depannya yang...