Pertengkaran di antara aku dan Jeonghan bukanlah suatu hal yang mengejutkan apalagi patut menuai perhatian dan simpati. Saking seringnya kami bertengkar, Kim Kadarshian dan Taylor Swift patut merasa miris.
Kami bukannya saling membenci. Seperti kebanyakan saudara lain, aku menyukai Jeonghan kecuali saat dia mulai mencampuri urusanku.
Setelah kejadian tak mengenakan yang membuat Mark agak dongkol padaku siang tadi, aku menghubungi Jeonghan malamnya, berharap dia mau menemaniku minum. Aku mengendap-ngendap setalah Mark tertidur dan pergi ke rumah Jeonghan setelah berhasil membujuk Nyonya Cha, seorang janda tua yang tinggal di samping rumah dan mengalami insomnia akut untuk menjaga bocah itu.
Setelah kukeluarkan semua keluh kesahku pada Jeonghan, sungguh, yang aku butuhkan hanya segelas martini dan handphone baru, tapi Jeonghan benar-benar murah hati, dia serta merta mengajakku bertengkar tanpa pamrih.
"ini tidak benar, Ji." Jeonghan niscaya tidak meninggikan suaranya karena sudah larut malam dan tidak ingin membangun Jisoo. "kau tidak bisa menjauhkan Mark dari ayah biologisnya selamanya."
Hatiku serasa seperti dicengkram oleh tangan tak kasat mata. Satu tanganku yang tidak memegang gelas melambai dengan gestur jengah.
"ayah biologisnya?" aku mencemooh. Kutepuk dadaku sendiri. "aku ayah biologisnya!"
Mata Jeonghan memerah, entah karena mengantuk atau marah. Atau perpaduan tak menguntungkan dari keduanya. "kau tahu apa maksudku," katanya jengkel. "apa perlu kujelaskan dia sebagai orang-yang-menaruh-sperm-"
"diam lah!" aku berteriak tanpa sadar memotong perkataannya.
Jeonghan mendelik kaget. Ada jeda beberapa saat sebelum dia kembali berkata. "aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu takut dengan menghadapi kenyataannya."
Aku meneguk martiniku kemudian memaksakan tenggorokanku untuk mengeluarkan suara tanpa bergetar. "Jika kau adalah seorang pria sukses yang—yang bisa mendapatkan siapa saja dan mengencani siapa saja, bagaimana kau akan menyukai seorang anak yang datang dari teman masa lalu-mu yang tidak jelas?"
Jeonghan tentu cukup pintar untuk menangkap maksudku. "entahlah, Ji. Aku tidak pernah tahu jika aku punya anak. Bagaimana mungkin aku bisa memutuskan untuk tidak menyukainya. Mungkin kau harus memberitahuku dulu." Kemudian suaranya melembut ketika dia melanjutkan. "dia bisa saja menyukai Mark. Dia bisa saja menyukaimu. Tapi kau tidak akan pernah tahu kecuali kau memberitahunya."
Tenggorokanku terasa pahit. Kepalaku berdenyut-denyut karena otakku bekerja terlalu keras memikirkan perkataan Jeonghan.
Pertanyaan berputar-putar di dalam benakku seperti lebah penyengat. Berbahaya dan menyakitkan. Kenapa juga Choi Seungcheol menyukaiku? Aku hanya seorang adik kelas canggung yang kebetulan terikat kepadanya karena projek sekolah. Kami menjadi dekat semata-mata karena dia adalah Choi Seungcheol, murid yang populer karena bisa dekat dengan siapapun. Jika bukan karena itu aku tidak akan pernah berani menatap wajahnya apalagi berbicara dengannya. Mempunyai anak darinya? Itu jelas di luar ekspektasi yang bisa akal sehatku pikirkan.
Dan Jeonghan salah. Seungcheol tidak akan menyukai Mark ataupun diriku karena tidak ada seorangpun yang akan menyukai sebuah Kesalahan.
"akui lah, Ji. kau takut karena kau menyukainya, bukan begitu?"
Jeonghan tentu tidak mengerti. Toh, semua orang menyukai Choi Seungcheol. Hanya karena dia pernah menyentuh-ku saat teler, tidak membuatku spesial. Hanya karena aku punya anak darinya, tidak lantas membuatku pantas untuk bersamanya. Selama hampir tujuh tahun ini aku hidup tenang dengan keyakinan tersebut sampai orang tersebut repot-repot menelfonku siang tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
What If? (JICHEOL)
FanficBagaimana jika aku berhasil mencegah Seungcheol malam itu? Bagaimana jika aku menolak untuk menjemputnya? Bagaimana jika aku memberitahunya tentang malam itu? Apakah Seungcheol akan menerimaku dan membatalkan kepergiannya, rencana masa depannya yang...