Fourty One

409 72 42
                                    


Seungcheol tersenyum ke arahku. Dia keluar dari lingkaran api unggun dan menghenyakan diri di sampingku, duduk di atas tikar di depan tenda kami.

"Hyung mabuk?"

Bau alkohol menguar dari dirinya. Bukannya terkejut, aku sudah tahu kalau beberapa kakak kelas memutuskan untuk membawa(merampok) persedian bir di rumah untuk dibawa kemari.

Masa muda tidak akan pernah disebut masa muda tanpa melanggar sedikit aturan. Itu yang salah satu teman Seungcheol katakan ketika menawariku sekaleng bir.

Aku menolak sebab aku tahu masa mudaku akan berakhir tepat ketika Ayahku menemukan fakta bahwa aku mabuk.

Jika Seungcheol benar mabuk, aku tidak terkejut, aku hanya perlu pemvalidasian.

Seungcheol menyisirkan jari melewati surainya ke belakang sambil tersenyum kepadaku. Dia menggeleng. "Aku minum, tapi tidak mabuk." Jawabnya. Dia lantas merogoh saku jaket, mengeluarkan satu pak kartu tarot yang kemudian dia tata terbalik di hadapan kami dengan cara yang sama seperti yang sering kulihat di TV. "Pilih salah satu."

Aku menatapnya ragu sekaligus geli. Namun tetap memilih satu kartu.

Aku membalik kartu itu dan melihat gambarnya bersama seungcheol.

Dua ekor rubah yang mendongak menatap lingkaran kuning besar di atasnya. The Moon adalah kata yang tertera di kartu itu.

"Apa artinya?" Tanyaku.

Seungcheol meraih kartu itu dari jepitan jariku dan mengamatinya. "Artinya, suatu hari kau akan pergi ke bulan."

Aku mendengus geli. "Kau tidak tahu bagaimana cara membacanya, kan?"

Seungcheol menggeleng. "Ini punya minki. Dia tahu cara membacanya."

"Apa yang hyung dapat?"

Seungcheol mengambil semua kartu yang tersebar di hadapan kami kemudian memilih satu untuk ditunjukan padaku.

Itu adalah sebuah kartu The Devil, dengan gambar iblis berperut buncit dan bertanduk.

"Itu tidak terlihat bagus," Kataku.

"Memang tidak." Kata Seungcheol sambil mengedikan bahu. Dia lantas kembali menyimpan semua kartu itu ke dalam kantongnya.

Udara malam yang dingin berhembus, membuat air danau di hadapan kami yang sebelumnya tenang beriak lembut, dan membuat aku dan Seungcheol mengeratkan jaket masing-masing.

"Apa yang kau lakukan di sini Ji?" Tanya Seungcheol setelah beberapa detik keterdiaman.

Aku tahu arti lain dari pertanyaan seungcheol adalah: kenapa aku disini, bukannya ikut berkumpul bersama yang lain di dekat api unggun.

Tapi aku tidak bisa bilang bahwa aku kurang merasa nyaman berada di dekat teman-temannya karena aku tahu mereka tidak akan menyerah menawariku sekaleng bir dan tidak akan puas sebelum aku menenggak satu kaleng penuh. Jika aku memberitahu Seungcheol, aku tahu dia akan merasa tidak enak sebab mereka adalah teman-teman dekat nya dan dia lah yang mengajakku kemari. Untuk suatu alasan, aku tidak ingin membuatnya menyesal karena membawa ku kemari.

"Duduk." Jawab ku akhirnya.

Seungcheol tersenyum. "Selain itu."

"Bernapas."

Kini, seungcheol tertawa. "Yang lain?"

Aku menolehkan kepala menatapnya. "Melihatmu."

Seungcheol kembali tersenyum. Entah untuk berapa lama, kami asik mempertahankan posisi itu: duduk bersebelahan dan saling menatap mata satu sama lain. Sampai aku merasa jarak di antara wajah kami makin menipis. Kemudian aku sadar bahwa itu bukan cuma perasaan, Seungcheol memang menyorongkan kepalanya mendekat ke arahku.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang