Seventeen

516 90 44
                                    

Berkirim pesan dengan Choi Seungcheol sama sekali tidak membuatku terhibur. Dia jelas bukan lagi teman sekolah yang bisa ku percaya untuk mendengarkan ku setiap kali aku butuh seorang pendengar.

Dia benar-benar berbeda.

Kami benar-benar berbeda. Sebab tidak ada dua orang teman sekolah yang  mendiskusikan (meributkan, tergantung kata apa yang lebih kalian suka) tentang anak siapa yang dimiliki salah satunya saat bertemu setelah sekian lama hilang kontak. alih-alih karir atau pencapaian yang telah didapatkan selama tidak bertemu.

Gagasan tentang berkirim pesan dengan Seungcheol bahkan tidak pernah muncul di kepalaku barang sekali saja dalam 6 tahun terakhir, tapi itu lah yang kerap aku lakukan beberapa hari belakangan, bahkan hingga pagi ini. Bukan karena keinginanku tentu saja, tapi karena aku perlu tahu kapan pria itu akan datang untuk menemui Mark agar aku bisa menyiapkan penjelasan untuk dikatakan kepada bocah itu, karena aku yakin situasi ini akan membuat bocah itu bingung.

Namun meskipun Seungcheol sudah memberitahu ku bahwa dia akan mengajak Mark jalan-jalan hari ini, aku belum juga mengatakan apapun pada bocah itu.

Aku memang sudah bilang bahwa dia akan pergi, tapi bagaimana caranya mengatakan bahwa dia akan pergi bukan denganku.

Hei, kau tahu teman papa yang sangat membuat papa marah itu? Kau akan pergi jalan-jalan dengannya.

Pasti bukan begitu.

"papa lihat!"

Mark yang berbaring di lantai mendongak, menatapku yang berbaring di atas tempat tidur, dan menyodorkan buku gambar nya. Memperlihatkan sebuah gambar, yang akhirnya sudah selesai dia kerjakan, berupa hamparan hijau yang ku asumsikan sebagai padang rumput, sebuah matahari yang kuning dan bundar di bagian atas beserta gumpalan-gumpalan kecil awan biru muda. di tengah padang rumput Mark menggambar tiga sosok, dua di antaranya digambar dengan krayon warna coklat dan nampak jelas adalah manusia.

"wow, ini papa?" Aku menunjuk sosok di tengah yang paling tinggi di antara semua itu, mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru dan celana panjang hitam. Mark mengangguk.

"dan ini kau?" ku tunjuk sosok di samping gambar ku yang hampir serupa kecuali tingginya dan warna baju yang dia kenakan adalah merah. bocah itu bergumam meng-iya-kan.

"ace?" Aku menunjuk sebuah gambar yang nampak seperti seekor anjing, atau setidaknya kupikir demikian. karena gambar itu berwarna kuning mentereng aku tidak terlalu yakin, tapi Mark kembali mengangguk. "kenapa warnanya kuning?"

"aku tidak bisa menemukan krayon ku yang warnanya seperti bulu ace." Mark tersenyum tiga jari, menampilkan deretan gigi geliginya yang rapi lantas mengambil kembali buku itu dari tanganku. "aku mau membawa ini dan menunjukannya pada paman Jeonghan dan paman Jisoo nanti," ujarnya penuh semangat seolah dia sudah bisa membayangkan betapa menyenangkannya itu.

"aku khawatir kau tidak bisa melakukannya," Kataku membuat Mark yang hampir memasukkan buku ke dalam tas berhenti.

"kenapa?"

"karena kita tidak akan pergi ke rumah mereka hari ini."

Dia menatapku tidak mengerti. "tapi papa bilang kita akan pergi."

"kau yang pergi," koreksi ku.

"tapi--tapi dengan siapa?" Sekarang Mark bangkit, merubah posisinya menjadi berlutut di hadapanku yang masih setia berbaring tertelungkup di kasurnya.

"sebenarnya, papa punya kejutan untuk itu." Mark tidak kelihatan terkesan, apalagi senang. Sebaliknya, raut wajahnya justru masam. "hei, kenapa cemberut begitu?"

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang