Thirty nine

416 77 142
                                    

Sudah empat hari dan mobilku belum keluar dari bengkel. Sudah empat hari juga Seungcheol menjadi supir pribadi ku, atau apapun sebutannya untuk orang yang mengantar jemputmu tanpa dibayar.

Aku tidak meminta, tidak juga berharap Seungcheol datang setiap pagi menjemput kami, namun ketika pria itu melakukannya aku tidak menolak.

Alasannya, kalau kalian tanya, sederhana saja, Mark punya jawabannya: bukan aku yang menyetir mobilnya.

Sekalipun aku menolak, tidak akan berarti karena itu kemauan Seungcheol. Dan kalian tahu apa yang bisa menghentikan Seungcheol untuk mendapatkan kemauannya?

Jawabannya: tidak ada.

Seungcheol hanya perlu berkendara ke rumahku, penolakanku sama sekali bukan penghalang, kecuali penolakanku membuat lempengan bumi bergeser hingga menyebabkan rumahku berada di belahan lain dunia, terpisah dengannya dan sulit dijangkau.

Beruntung dari empat hari itu, serangan panik ku hanya terjadi sekali. Aku tidak membicarakannya. Aku tidak pernah menceritakan serangan panikku pada siapapun, bahkan Jeonghan. Membiarkan seseorang tahu tentang itu sama saja dengan menyebar banjir kepanikan. Siapa yang hatinya bisa tenang setelah mengetahui bahwa ada seorang anak kecil yang tinggal dan diasuh oleh orang tua tunggalnya yang mengidap gangguan stress pasca trauma?

Aku pernah pergi ke ahli terapi, beberapa hari setelah aku mendapatkan tiga serangan pertama, yang mana sudah lama sekali. Kemudian aku mendapati bahwa kehadiran Mark lebih membantu daripada duduk dan membicarakan apa yang kurasakan dengan orang asing.

Sekarang ketika aku sudah mulai terbiasa melihat Seungcheol, terbiasa bertemu dengannya, terbiasa dengan kehadirannya, seperti dulu kala, tidak ada yang benar-benar perlu dikhawatirkan.

Kurasa.

Mungkin ini memang waktu yang tepat untuk beranjak dari masa-masa itu.

"Kau boleh mampir kalau ada waktu," Kataku sebelum keluar dari mobil Seungcheol.

Jeda. Seungcheol menatapku dengan penuh tanda tanya.

Kukira dia mungkin tidak menangkap apa yang barusan kukatakan, tapi ketika aku baru mau membuka mulut untuk mengulangi perkataanku, Seungcheol berujar dengan ragu-ragu. "Tentu." Dia tampak kikuk. "Tunggu sebentar. Aku akan memarkirkan mobilnya, lalu menyusul kalian."

Aku mengangguk kemudian keluar dari mobil. Kugenggam tangan Mark yang keluar dari mobil sebelum aku dan berdiri di depan pintu masuk gedung apartemen.

Mark tentu menyadari sesuatu ketika mobil Seungcheol tidak berputar balik untuk pergi seperti biasanya, namun justru melaju terus hingga masuk ke area parkiran gedung.

Mark mendongak. "Kemana paman Seungcheol pergi papa?" Dia bertanya. "Apa paman Seungcheol akan mampir ke rumah?"

Aku mengangguk, tersenyum ketika mendapatinya tersenyum.

***

Aku sadar apartemen dua kamarku tidak terlalu besar. Memiliki tujuh ruangan, dengan sedikit tempat untuk setiap ruangannya.

Tapi dengan hadirnya Seungcheol di sini, aku merasa rumahku penuh dan sesak.

Apakah selalu terasa begini setiap kami kedatangan tamu dan aku, untuk suatu alasan tertentu, baru menyadarinya? Atau kah ini murni karena yang ada disini adalah Seungcheol?

Di ruang tamu kami, beberapa meter dari ku yang duduk di sofa depan TV, pria itu melantai, membangun sesuatu bersama Mark yang Mark sebut sebagai tembok Cina, dari mainan berupa balok-balok kayu.

Aku menonton tayangan national Geographic bersama Ace, awalnya. Aku telah menggantinya menjadi acara talk show sebab Ace tidak bisa berhenti menyalak pada ular-ular derik yang mucur di layar TV, meskipun ular itu berada jauh di daratan Amerika dan berkemungkinan minus seribu persen akan menyakiti kami.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang