"anda tidak boleh begitu. bagaimana seandainya jika Mark tidak benar-benar mengenalnya? bagaimana jika dia berniat jahat? dan anda melakukannya tanpa meminta persetujuan saya?" tuntutku.
kurasakan urat-urat di kepalaku menegang. aku bahkan sudah tidak peduli seberapa keras suaraku sekarang. Begitu keras hingga membuat Mark yang selalu protes setiap aku marah-marah di telepon, karena menurutnya orang dewasa tidak boleh marah-marah dengan barang, terdiam tidak berkomenar.
"maafkan saya, Tuan Lee. saya janji kejadian seperti tadi tidak akan pernah terulang lagi. tapi saya moh-"
kututup sambungan telepon sebelum wanita itu bisa bicara lebih jauh karena aku yakin aku akan muntah untuk yang kedua kali jika dia sekali lagi memintaku untuk menerima permintaan maafnya.
kuletakan ponselku di atas counter dengan helaan napas keras. kepalaku berdenyut-denyut seolah ribuan orang mini tengah menjotosi tempurung kepalaku dari dalam. tanganku masih bergetar hebat karena panik dan ketakutan. aku menengok ke ruang tamu dimana Mark sedang duduk dan memainkan mainan mobilnya tanpa antusias khas putraku yang periang. pemandangan itu sedikit banyak membuat perasaanku makin tak karuan, bagai tornado yang menghisap apapun di sekelilingnya, berantakan, tidak terprediksi dan mematikan.
aku menghampiri mark. "jangan lakukan itu lagi, oke?" pintaku.
Mark menatapku, ekpresinya sulit dikatakan bahwa dia senang. ekspresi yang sama saat dia tahu bahwa Ace sakit beberapa bulan yang lalu : khawatir dan sedih, bedanya kali ini aku tidak tahu cara untuk membuatnya merasa lebih baik.
"apakah papa tidak akan bicara lagi dengan Guru Jung?"
aku tahu maksud bocah itu yang sebenarnya adalah apakah aku akan membenci wali kelasnya. aku menjatuhkan diri di sampingnya, mengambil salah satu hot wheels kemudian menggerakkan mainan itu di lengan Mark, membuatnya sedikit tertawa karena tergelitik. namun itu saja sudah mampu menghilangkan sedikit kegelisahan ku dan membuatku ikut tersenyum.
"tidak." aku memegang kedua bahunya, menunduk hingga jidat kami dapat bertemu. "jika kau janji tidak akan mengulangi hal seperti tadi dan akan menunggu sampai papa datang menjemputmu lain kali, mengerti?" aku mengangkat jari kelingkingku di antara kami.
Mata bulat mark yang menatapku dari balik bulu mata itu nampak begitu serius dan penuh pertimbangan. Aku merasa putraku yang berumur 6 tahun tengah memindai, membaca diriku, mencoba masuk ke dalam pikiranku dengan penuh perhatian. namun yang bocah itu katakan justru membuatku lebih terpana. "janji tidak akan menangis?" dia mengangkat jari kelingkingnya.
aku terpaku menatapnya. hingga sensasi sengatan listrik itu hilang dari perutku aku baru bisa mengaitkan kelingking kami, setuju untuk berjanji padanya walaupun tenggorokanku tersekat oleh isak tangis yang ingin membeludak.
Mark tidak mengatakan apa-apa, tetapi tersenyum. "jangan khawatir papa. semuanya akan baik-baik saja," ujarnya, lantas dia mengecup keningku.
***
Jeonghan selalu berada di urutan paling atas dalam list orang-orang yang harus kuhubungi untuk bicara. dia adalah sepupuku, sahabatku maupun penasehat pribadiku, jadi tidak mungkin aku tidak menghubunginya setelah apa yang terjadi siang ini membuatku ingin menelan diriku sendiri hidup-hidup. jika saja Jeonghan menarik bayaran untuk setiap kali pertemuan yang kami lakukan pasti dia sudah menjadi miliarder sekarang.
kami bertemu di kafe sekitar. Aku menceritakan semuanya kecuali bagian dimana Seungcheol berkata bahwa dia merindukanku, karena aku yakin itu tidak benar, dan bahwa aku muntah setelah itu, karena itu memalukan.
"Dia apa?" Jeonghan meletakan secangkir kopi yang habis dia seruput. dahinya berkerut dalam seolah dia baru saja mendengarkanku bicara dengan bahasa asing atau dia tiba-tiba tidak mengerti bahasa korea.

KAMU SEDANG MEMBACA
What If? (JICHEOL)
FanfictionBagaimana jika aku berhasil mencegah Seungcheol malam itu? Bagaimana jika aku menolak untuk menjemputnya? Bagaimana jika aku memberitahunya tentang malam itu? Apakah Seungcheol akan menerimaku dan membatalkan kepergiannya, rencana masa depannya yang...