Fourty Three

385 69 14
                                    

"Benar disini?" Aku bertanya ketika Seungcheol memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah dua lantai. 

Griya itu tidak lebih besar dari kediaman Jeonghan ataupun Seungcheol. Pekarangannya tidak lebar, ekteriornya tidak mengesankan, namun siapapun yang tinggal di rumah dua lantai pasti lebih punya uang daripada orang yang tinggal di apartemen sederhana dengan dua kamar tidur.

Lagi-lagi aku merasa bersalah pada Mark.

"Sepertinya begitu." Seungcheol menatapku. "Ingat, kau disini untuk bicara pada mereka. Aku tahu kau kesal, tapi kau harus menahannya. Kita mau memperbaiki keadaan bukan sebaliknya, ingat?"

Aku tidak tahu kenapa Seungcheol mengatakan itu. Dia tidak mungkin tahu bahwa aku diam-diam tengah memikirkan cara terbaik untuk menghancurkan bangunan di hadapan ku. Mustahil, kecuali rencana bulus itu terpampang jelas di jidat ku, yang mana juga mustahil.

"Aku tahu cheol," Kataku.

Bersama-sama kami keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah bercat putih gading itu. Seungcheol menekan interkom, membiarkan orang di dalam menghetahui kehadiran kami. Tak butuh waktu lama sampai Bomi membukakan pintu untuk kami.

Mengenakan gaun tidur berwarna merah muda, wanita itu nampak kebingungan. "Seungcheol, astaga. Kenapa kau datang mal--Jihwa?"

Aku menoleh ke balik bahuku, berharap mendapati seseorang bernama Jihwa berdiri di sana sebab itu jelas bukan namaku. Lalu kenapa Bomi melihat ke arahku?

"Jihoon." Seungcheol mengoreksi.

"Benar." Kata Bomi, tanpa sedikitpun rasa malu. "Kau ayah Mark, kan?" Aku mengangguk karena kali ini dia benar. Mungkin hanya beruntung. "Kenapa kau datang bersamanya malam-malam ke rumah ku? Wooseok sudah tidur." 

Bomi menatapku seakan aku telah mencuri sesuatu darinya, atau seolah aku adalah hama pembawa penyakit mematikan. Aku tidak bisa memastikan apakah wanita ini merasa jijik atau jengkel, yang manapun, dia jelas-jelas tidak terkesan dengan kedatanganku. Aku mungkin telah menganggunya di tengah rutinitas perawatan kecantikan sebelum tidurnya. Atau alasan yang lebih sederhana: dia hanya tidak suka melihatku.

"kami tidak--"

"Siapa sayang?" Seorang pria, sepertinya berusia di akhir tiga puluhan, dengan setelan tidur navy keluar. dia melongok melewati bahu Bomi. Dahinya berkerut ketika dia melihat kami. "Kalian siapa?"

Pria itu ayah Wooseok. Aku dan Seungcheol memperkenalkan diri padanya dan dia meminta kami masuk, membiarkan kami duduk di sofa hijau lumut di ruang tamu mereka dan bahkan menyuguhi segelas jus leci dan permen coklat yang kunikmati sembari menunggu Seungcheol menjelaskan perkara yang terjadi di antara Mark dan Wooseok.

Aku bersumpah, aku tidak lupa tujuanku kemari, bukan untuk icip-icip makanan, pastinya. Tapi kudapati permen coklat dan jus leci itu ampuh meredam amarahku dan menjernihkan pikiranku sedikit sementara Bomi terus mencekoki telingaku tentang kontes-kontes modeling yang kerap dimenangkan Wooseok semenjak anak itu baru berusia satu tahun.

Aku tidak pernah menemukan orang tua manapun yang begitu bangga karena mengeksploitasi anaknya sendiri.

"Lihatlah piala-piala itu kalau kau tidak percaya." Dia menunjuk satu bufet yang disesaki piala berbagai macam bentuk dan ukuran, padahal aku sama sekali tidak mengatakan apapun tentang tidak mempercayainya.

"oke, sebentar." Ayah Wooseok berkata, membuat Bomi akhirnya bungkam dan membuatku akhirnya bisa kembali bernapas. "kita tidak harus bertengkar karena anak-anak, kan?"  Seungcheol mengangguk. Aku menduga Seungcheol telah selesai menguraikan masalah kami--masalah Mark.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang