Thirty Three

401 71 70
                                    

"Tidak ada yang kelupaan?" Ibu bertanya ketika membantuku memasukan tas ke dalam bagasi. Aku menggeleng. "Cheesecake nya jadi kau bawa, kan?"

Cheesecake yang ibu buat dengan sedikit (benar-benar sedikit) bantuan dari Mark dan Donghyuck tadi malam nyatanya terlalu melimpah hanya untuk kami, jadi ibu memintaku membawanya pulang untuk dinikmati Mark.

"Iya, sudah."

Ibu memelukku setelah itu, tidak mengatakan apapun bahkan ucapan perpisahan, meskipun aku tahu helaan napasnya berarti bahwa dia punya banyak hal untuk dikatakan. namun entah apa yang menahan ibu, mungkin Seungcheol, mungkin Mark, atau justru aku sendiri.

Aku sering mengabaikan nasehatnya, dan aku melakukan itu dengan sadar. Mengindahkan setiap ucapannya yang dia awali dengan "Jihoon, kau harus ..." dan diakhir dengan "... itu baik untukmu." bukan dengan maksud untuk menyinggungnya tentu saja, namun semata-mata karena aku memang tidak punya minat untuk memedulikan diriku sendiri, apa yang baik dan tidak. Semua itu menjadi tidak penting setelah aku memiliki Mark. Jadi aku mengerti kenapa ibu tidak mau mengatakan apapun kali ini, karena mungkin itu yang akan beliau lakukan.

Ibu kemudian mengetuk kaca jendela mobil di mana Mark singgah setelah tadi sempat melakukan ritual perpisahan yang panjang dengan Donghyuck dan kakek-neneknya.

"telfon nenek kalau sudah sampai."

Mark mengangguk. Tangannya yang menggenggam boneka beruang melambai.

Ibu balas melambai. Selesai dengan Mark ibu beralih pada Seungcheol, yang sedari tadi berdiri canggung, seolah sedang memainkan peran sebagai tanaman hias di pekarangan rumah orang tuaku.

"terimakasih sudah mau datang." Ibu memeluknya.

Tidak masalah apakah yang ibu maksud adalah kedatangan Seungcheol ke rumahnya atau kedatangan tiba-tiba Seungcheol dalam lembaran hidupku yang dibiarkan kosong selama hampir tujuh tahun. Yang manapun itu tetap membuatku terkejut.

Seungcheol pun nampak tidak menduganya, entah ucapan terimakasih atau pelukan yang diberikan ibu, atau mungkin malah keduanya.

"Tidak bibi, tapi terimakasih."

ibu tersenyum. "jangan ragu kalau ingin datang lagi kesini."

Aku melirik ayah, ketegangan nampak dari sorot matanya yang memandang ibu. Jelas bahwa itu bukanlah pembicaraan yang mereka setujui sebelumnya. Malahan aku ragu mereka sempat membicarakan ini.

Seungcheol mengangguk. Bibirnya membentuk kata terimakasih.

"Jangan ragu kalau ingin mengajakku bermain lagi." Donghyuck menimpali.

Seungcheol tertawa. Dia acak-acak rambut bocah itu. "Tentu saja tidak."

Kemudian pria itu melihat ayahku. kecanggungan bagai seutas tali yang mencekik kami. Aku mengenali ekspresi yang dibuat ayah kini. dulu beliau sering menatapku begitu setiap kali aku mengindahkan perintahnya. Aku tidak tahu kenapa seungcheol belum juga gemetar, padahal dulu aku niscaya sudah menangis jika ayah menatapku begitu.

Seungcheol akhirnya membungkukkan badan, memberi salam. Ayah menjawab dengan gumaman sambil mengedikan dagu. Itu juga tidak pernah menjadi gestur favoritku. Seiring aku tumbuh dewasa aku mengerti bahwa gestur itu berarti 'lakukanlah apapun, aku tidak akan peduli'.

"Hati-hati di jalan." Ibu menepuk bahu kami berdua, mencairkan es yang sudah terlalu lama menyelubungi kami.

"Dadah!" Seruan Donghyuck menjadi pertanda kepergian kami. Menjadi pertanda bahwa mulai sekarang dan dua jam ke depan aku terkukung dalam ruangan 1.5x2 meter bersama Choi Seungcheol.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang