"papa bangun!"
Alarmku berbunyi lengkap dengan efek guncangan yang membuat tubuhku bergerak ke sana dan ke sini.
Aku mengerang, menggeliat dan mengusap mata demi membuat pandangan ku lebih jernih. Tapi dengan penglihatan yang seperti titik di lensa yang tidak difokuskan ini pun aku tetap mengenali sosok yang sekarang mendusel di bawah lenganku dengan tangan yang memeluk pinggangku.
Mark. Satu tangannya kini menepuk-nepuk pipiku, memaksa agar aku tetap terjaga.
Aku yakin ini bukan waktu yang tepat untuk bangun tidur karena seharusnya kamarku tidak segelap ini jika matahari sudah muncul. suasana terasa begitu sepi dan ganjil. Aku bahkan bisa mendengar Ace, anjing golden retriever kami yang sudah tua mendengkur di ruang tengah.
"Jam berapa ini?" Gumamku.
"Tiga lebih sepuluh."
"Astaga, lalu kenapa sudah bangun?" Aku mendekapnya. "Mimpi buruk?"
Mark menggeleng. Tangannya sekarang sibuk bermain di keliman baju tidurku.
Aku mengulurkan tangan ke meja di samping tempat tidur untuk menyalakan lampu tidur. cahaya remang-remangnya cukup untuk membuatku bisa membaca ekspresi di wajah Mark.
"Ada apa?" Kusibak surainya yang menutupi mata.
Entah bagaimana Mark selalu bisa membuaiku agar menunda jadwal cukur rambutnya dan kupastikan itu tidak akan terjadi lagi.
"Apa aku harus ke sekolah? Kenapa papa tidak bisa mengajariku lagi di rumah?"
"Hei," kubuat dia menatapku. "Kau sudah besar, kan. papa tidak bisa terus mengajarimu di rumah. Lagipula kau akan punya banyak teman di sekolah."
Mark melotot, nampak tak setuju. "Tapi aku sudah punya banyak teman!"
"Masa?" Mark mengangguk mantap. "Siapa?"
Dia menatap langit-langit kamarku yang pucat guna berpikir. "Paman Jeonghan .... Paman Joshua .... Paman ..." Dia berpikir keras. "Paman ... Bumzu, paman ...."
Walaupun aku sudah mati-matian menahan tawa karena aku tahu Mark tidak akan suka jika aku melakukannya saat dia sedang serius. Akhirnya aku tetap mengeluarkan sebuah suara tercekik dalam tenggorokan yang kedengaran sekali seperti sebuah tawa yang ditahan.
Memang konyol jika kukatakan Mark kedengaran tegas sekarang. Anak ini baru enam tahun. Tapi dengan nada bicara dan ekspresi nya sekarang Mark jelas menegaskan bahwa dia tidak mau dibantah lagi, diberi bujuk rayu atau disuap dengan iming-iming ketinggalan jaman seperti mainan atau es krim.
Mark merenggut. Ujung dalam alisnya menukik ke bawah. Dahinya berkerut begitu juga hidungnya.
Bibirnya terkatup rapat alih-alih mengerucut manja(tipikal jika keinginan nya minta dituruti). Bocah ini seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak kalah dewasanya dengan aku. Menunjukan bahwa jika aku bisa meminta sesuatu darinya dia juga bisa menolak.
Karena Mark mengerti dengan pasti apa yang pernah aku katakan saat usianya empat tahun bahwa kami bukan hanya sekadar orangtua dan anak tapi juga partner. Partner yang mendengarkan pendapat satu sama lain, yang mengerti satu sama lain, yang selalu ada untuk satu sama lain. Seperti Tony Stark dan Peter Parker yang kemudian tidak mendapat persetujuan dari Mark. Dia mengatakan bahwa Peter bukan anak Tony dan bahwa kami lebih keren dari mereka karena dia adalah anakku.
"Aku tidak akan punya teman di sekolah," ujar Mark. "Mereka akan menganggapku konyol karena pernah sekolah di rumah. Anak-anak selalu begitu."
"Maka tunjukkan bahwa mereka salah," Kataku. "Jika mereka tidak menyukai anakku, mereka yang konyol."

KAMU SEDANG MEMBACA
What If? (JICHEOL)
FanficBagaimana jika aku berhasil mencegah Seungcheol malam itu? Bagaimana jika aku menolak untuk menjemputnya? Bagaimana jika aku memberitahunya tentang malam itu? Apakah Seungcheol akan menerimaku dan membatalkan kepergiannya, rencana masa depannya yang...