Twenty

500 74 121
                                    

Sudah lima minggu berlalu sejak kunjungan 'resmi' pertama Seungcheol, itu artinya terhitung dengan hari ini sudah lima kali Mark pergi menghabiskan waktu bersama pria itu. Lima kali pula aku melakukan eksperimen terhadap kehidupanku, yang baru kusadari tidak memiliki kehidupan sosial sama sekali.

Karena aku tahu berdiam diri sendirian di rumah untuk waktu yang lama tidak memberikan efek yang bagus, begitupun dengan mengundang seseorang untuk datang ke rumah. Untuk kedua kalinya Mark pergi aku memutuskan untuk mengikuti les gerabah, sebab itu ada vas jelek di meja makan sekarang.

Ketiga kalinya, aku tergabung dalam klub menggambar bersama segerombolan anak kuliahan yang kutemukan di kafe hari itu, dan menyadari bahwa skill menggambar yang kumiliki tidak berbeda jauh dengan Mark, malahan sepertinya jauh lebih buruk.

Hari keempat aku menghabiskan waktu untuk merombak ruang jemur di apartemen kami menjadi sebuah ruang hijau yang dipenuhi bonsai, yang beruntungnya sangat disukai Mark.

Dan hari ini, aku memilih kembali pada rutinitas ku yang otentik pada akhir pekan yaitu pergi ke rumah Jeonghan dan Jisoo. Menggunakan sepatu roda.

Oke, aku tahu betapa aneh ini kelihatannya. Aku telah melewati berbagai pasang mata yang menatapku ganjil. Aku pun tidak pernah tahu kalau ini akan menjadi salah satu dari kegiatan yang akan ku gemari saat usiaku sudah 24 tahun serta memiliki seorang anak, sampai aku mencobanya.

aku hanya butuh 15 menit untuk mencapai rumah Jeonghan dan Jisoo, sebuah kediaman asri bergaya modern kontemporer dengan dua lantai. Aku memencet bel interkom yang berada di gerbang kayunya, menunjukkan wajahku di kamera untuk Jeonghan lihat, menunggu sebentar hingga gerbang itu terbuka secara otomatis lantas berjalan, atau bisa kukatakan, meluncur melewati pekarangan menuju langsung ke pintu depan di mana Jeonghan menanti dengan wajah terperangah.

Aku tersenyum, melambaikan tangan untuk menyapa.

Jeonghan menggelengkan kepala. "kau tidak mungkin serius," pria itu berkata.

. . .

Setelah Jeonghan menanyakan kabarku aku tidak tahan untuk tidak menceritakan tentang semua kegiatan baru yang kulakukan untuk beberapa minggu belakangan.

aku terus saja bicara sampai Jeonghan tidak tahan untuk menjubeli mulutku dengan berbagai makanan. kue kering, puding cokelat dan sekarang salad buah dan es krim vanila.

Aku tidak punya kakak atau adik, tapi aku sudah sangat bersyukur memiliki Yoon Jeonghan sebagai sepupuku. siapa yang tidak?

Tidak pernah banyak bicara membuatku sekenyang ini.

"Umm ... " gumam ku seraya mencoba menelan pisang dan anggur merah yang sebelumnya telah ku kunyah. "kau tahu, aku ikut klub mahasiswa menggambar."

Alis Jeonghan terangkat. "sungguh?"

Melihat nanas di dalam sendok yang ingin dia suapkan padaku aku menggeleng, menolak. "stroberi, " kataku sambil menunjuk buah merah yang nampak paling menggiurkan di antara lautan buah dalam salad itu. Jeonghan menyuapkan suapan itu untuk dirinya sendiri sebelum menyendok lagi, memastikan bahwa dia meraup cukup stroberi, anggur merah dan jeruk mandarin untukku. Aku menikmati itu semua dengan perasaan bahagia bersama sesendok es krim vanila. "kuwhasa aku hawus memdawdah kuwiah," ujarku dengan mulut penuh.

"hah?"

Aku menelan. "kurasa aku harus mendaftar kuliah."

Kurasa apa yang ku ucapkan sudah cukup jelas namun Jeonghan tetap mengerutkan dahi. "Jihoon, kau tidak lulus SMA."

Kenyataan itu membuatku merasa seperti baru saja ditampar oleh sebuah tangan tak kasat mata. Terbuyarkan semua bayangan akan suasana universitas, ruang perkuliahan yang dipenuhi orang-orang yang berbagi minat yang sama denganku, perkumpulan-perkumpulan seru yang akan ku hadiri. Sebuah kehidupan yang sempat kukira akan kumiliki sebelum 'itu' semua terjadi.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang