Fourty Seven

630 76 199
                                    

Sore ini sangat berbeda.

Aku lebih gugup, lebih gamang, lebih bingung, dan yang paling kubenci dari semuanya, lebih merah.

Sebenarnya, ini sudah terjadi ketika Mark mencetuskan ide bahwa aku dan dia harus menginap di rumah Seungcheol pada akhir pekan, karena, Mark bilang, disana kami bisa berkamping di halaman, membakar marshmellow di perapian, menonton film, melakukan semua hal yang biasa kami lakukan setiap akhir pekan, namun itu akan menjadi lebih seru karena kami sekarang bertiga.

Mark percaya bahwa kami akan memiliki akhir pekan yang sempurna.

Aku pun yakin kami akan memiliki akhir pekan yang sempurna. Jika aku bisa mengendalikan perasaanku dengan lebih baik.

Ini lebih dari sekedar rekonsiliasi yang aku inginkan dengan Seungcheol. Aku padahal sudah bersyukur jika hubungan kami berjalan selayaknya ketika kami remaja dulu, hanya seperti teman yang selalu ada setiap salah satu membutuhkan. tapi tanpa kuduga kami nyatanya bisa lebih dari sekedar itu.

Namun wacana mengenai menginap di rumahnya tetaplah terasa aneh bagiku. Aku tidak bisa lagi melihat Seungcheol sebagai teman saat gelar 'ayah dari putraku' sudah lama tersemat padanya. Bahkan lebih lama daripada pertemanan kami berlangsung. Dia juga merupakan orang yang kusukai, secara romantis.

Tentu saja aku sadar bahwa menginap di rumah seseorang yang kau taksir terdengar seperti salah satu fragmen di film romantis. Dan aku yakin bahwa adegan seperti memanggang marshmellow di perapian, atau berkemah di halaman tidak masuk di dalamnya. Pemikiran itu membuatku gelisah. Namun karena Mark telah berfirman bahwa yang kami lakukan di rumah Seungcheol adalah sebagai berikut, aku harus yakin bahwa itu lah yang nanti terjadi.

Toh, jika Mark ada bersama kami, apa yang kiranya bakal terjadi?

Gerbang rumah Seungcheol sudah terbuka bahkan sebelum aku menekan interkom. Sang tuan rumah langsung menyambut kami.

"Hei!" kata Seungcheol.  Mark berlari untuk menerjangnya dengan pelukan. "ayo masuk."  

Jika aku membayangan akan seperti apa rumah dari orang kaya yang punya cukup uang untuk menyewa arsitektur terbaik namun tidak punya waktu untuk memikirkan tetek bengek interior, sebab dia tahu sebagian besar dari harinya tidak akan dihabiskan hanya dengan leyeh-leyeh sambil menatapi dekorasi-dekorasi aesthetic, rumah Seungcheol cocok dengan bayangan itu.

Marmer menghiasi banyak sudut terutama dapur, mulai dari kitchen set hingga bagian island, bahkan meja makan, semuanya marmer. Di tengah-tengah ruangan yang  seluas seluruh apartemenku itu, terdapat sebuah perapian besar berwarna hitam, bagian bawahnya berbentuk lingkaran sedangkan bagian cerobongnya yang menggantung mengerucut ke atas. sebuah sofa berkapasitas sepuluh orang didesain melingkar mengelilingi perapian. Tampak sangat berbeda dari perapian yang akan kami gunakan untuk memanggang marsmellow dalam bayangku.

perapian itu memisahkan bagian dapur dan ruang tamu yang terdiri dari sofa berbentuk U besar dan rak-rak buku yang tinggi. Semuanya tampak mahal, tapi tidak ada yang benar-benar menarik perhatian. tidak seperti rumah Jeonghan yang dipenuhi lukisan, dinding di rumah Seungcheol nyaris tidak dihiasi apapun kecuali satu lukisan berupa gambar lingkaran hitam yang tidak sempurna. 

Aku dan Mark mendudukan diri di sofa berbentuk U itu.

"sudah makan?" Tanya Seungcheol pada Mark.

Mark mengangguk. Sebelum kemari bocah itu telah menghabiskan semangkuk nasi bersama kimchi dan samgyupsal yang dikirimkan neneknya. "papa belum." dia menunjukku. "katanya belum lapar."

Aku tidak bisa memikirkan tentang rasa lapar dan wacana menginap di rumah Seungcheol sekaligus. Itu sama saja seperti memikirkan tempat wisata untuk liburan saat kita sedang memiliki seambrek pekerjaan.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang