Twenty Seven

411 80 58
                                    

Aku tidak bisa tidur dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepalaku. Dengan perasaan menggelitik yang bersamayam di perutku. Dengan fakta bahwa Seungcheol ada di sini.

Perasaan ini, aku tidak akan mampu menjelaskannya kecuali aku menegak cukup banyak tequila hingga membuatku ngelantur dan sekujur tubuhku memerah. Aku harus menjadi segila itu baru aku bisa membicarakan tentang ini. 

Semalam suntuk aku hanya mampu menghitung bintang-bintang, yang karena lampu proyektor, bertebaran di atas langit-langit dan dinding kamar. Dentingan nada dari kotak musik yang Mark putar untuk menemani tidurnya juga tidak lantas membuatku ikut terlelap, karena satu fakta yang tak dapat terlupakan bahwa itu milik Seungcheol menggelayut di kepalaku.

Pukul tujuh di pagi hari aku telah selesai menghabiskan segelas kopi dan membuat sarapan berupa roti panggang dengan selai blueberry untuk Mark.

Sekarang aku tengah mencuci piring-piring beserta gelas-gelas kotor sehabis kugunakan untuk sarapan bersama ayah dan ibuku yang sekarang telah berangkat ke pasar guna membeli keperluan untuk makan bersama kami nanti.

Perayaan hari ulang tahun Mark selalu diadakan dalam 2 tahapan, tahapan pertama mengucapkan ulangtahun secara perdana dan buka-buka kado di tengah malam, kedua makan besar bersama di siang hari. 

"Perlu bantuan?"

Aku hampir terlonjak mendengar suara itu. Gelas di tanganku tergelincir, masuk kembali ke dalam wastafel yang penuh air dengan bunyi 'plung'.

Aku tidak perlu menengok untuk tahu bahwa pemilik suara itu tak lain dan tak bukan adalah Choi Seungcheol. Tidak ada orang yang begitu sering membuatku terkejut melebihi Choi Seungcheol. Catat bagian itu.

Anggaplah aku orang yang lamban, aku tidak akan mencoba mengoreksi karena memang begitulah adanya.

Begitu lama aku berpikir hanya untuk menggelengkan kepala, sebuah kode universal untuk mengatakan tidak, pada tawaran yang Seungcheol ajukan. Maksudku, kenapa aku perlu berpikir?

Bisik derit kursi yang digeser terdengar, menandakan bahwa alih-alih pergi Seungcheol justru membuat dirinya nyaman berada di sini, seolah kehadiranku sendiri saja belum cukup untuk mengusirnya. Seolah peraturan tak tertulis dimana 'Tidak ada ruang untuk berdua bagi Jihoon dan Seungcheol' tidak cukup jelas untuknya.

"Kau tidak perlu melakukannya, tapi terimakasih," dia berkata.

Aku mengernyit, sepenuhnya tidak mengerti. Apakah mungkin seungcheol salah tidur tadi malam? Atau sejatinya kurang tidur berefek pada pendengaranku?

"Apa maksud--"

"Pagi papa," Suara cerah Mark berujar di belakangku. "pagi paman," lanjut bocah itu.

"Pagi sayang."

"pagi," balas Seungcheol bersamaan denganku.

"Dimana kakek dan nenek?" Mark memeluk pinggangku, kepalanya bersandar di pinggulku. Wajahnya masih sembab akibat bangun tidur.

"Kakek dan nenek pergi ke pasar," jelasku. "Sarapan dulu, papa sudah buatkan."

Mark melihat ke sekeliling lalu mengembalikan tatapannya padaku dengan bingung. "Dimana?"

"Di situ-" Aku menunjuk tempat dimana aku manaruh roti panggang blueberry, sarapan Mark, hanya untuk menemukan Choi Seungcheol tengah duduk di sana memakan roti itu.

Seungcheol membeku. Dia menatapku seolah pria itu baru saja diguyur oleh seember kesadaran. Dia meletakan rotinya dan mengusap sudut bibir dimana selai blueberry meninggalkan jejaknya. 

"Oh," Dia berujar, terkejut dan malu. "Maaf. Maaf. Kukira..." 

Apakah dia benar-benar mengira aku membuatkan itu untuknya? 

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang