Twenty Eight

449 81 42
                                    

Kalian harus kecewa jika berpikir ayahku telah memperbaiki hubungannya dengan Seungcheol. Karena pada kenyataannya tidak begitu.

Saat menunggu Mark mandi ayah kembali beku. Bahkan ketika Seungcheol menawarkan diri untuk membuatkannya segelas kopi ayah tidak menjawab tapi justru pergi meninggalkan dapur.

Beda cerita setelah Mark selesai mandi, ayah kembali beramah-tamah dengan pria itu. Bertingkah sebagaimana dia bertingkah ketika kami masih remaja. Bahkan tak segan melontarkan guyonan.

Aku tidak bisa menyalahkan beliau sebab aku juga tahu dilematisnya jika aku harus begitu saja bertingkah seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di antara kami. Namun aku tetap bersimpatik pada pria itu.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus tinggal berhari-hari bersama orang yang jelas-jelas tidak bisa dan tidak mau berada dekat denganku. Jadi aku jelas bertanya-tanya kenapa Choi Seungcheol masih di sini.

Tidak seperti Seungcheol tidak punya pilihan lain. Setidaknya dia telah ada disini untuk merayakan ulang tahun Mark, jika dia beralasan untuk pulang aku yakin Mark mengerti atau setidaknya tidak begitu merasa kecewa.

Namun Seungcheol justru memilih teguh pada perannya sebagai paman menyenangkan yang asik diajak bermain walaupun kesabaran dan harga dirinya harus diuji pada tingkat yang keterlaluan tidak wajarnya.

"Aku benar-benar kasihan pada anak itu." Ibu berkata ketika kami tengah memotong-motong sayuran di atas tilam bambu yang ada di pekarangan.

"Kenapa? Mark selalu senang panas-panasan bersama kakeknya."

"Seungcheol, bukan Mark." Ibuku mengoreksi. "Abeoji mu itu tidak terlalu pintar menjaga perasaan seseorang."

Aku ingin menjawab bahwa itu tidak sepenuhnya salah ayah. Toh bagaimana ibu bisa berangan-angan kalau ayah tidak akan bertingkah seperti itu, meskipun aku sudah memintanya untuk tidak.

Aku ingin menjawab bahwa apa yang ayah lakukan adalah wajar adanya. Kami tidak pindah dari Seoul ke Busan, merintis semuanya dari awal, memulai hidup yang sepenuhnya baru untuk akhirnya bertemu lagi dengan pria itu. Tidak ada yang menduga, tidak ada yang mempersiapkan bahkan setelah hampir 7 tahun. 

Justru aku ingin bertanya bagaimana ibu bisa begitu kalem. Bagaimana bisa Choi Seungcheol tidak berarti apa-apa baginya. Atau jangan-jangan ibu lupa siapa pria itu?

Namun aku memilih diam karena seperti kataku tadi, aku masih bisa bersimpatik pada Seungcheol. Aku hanya seseorang yang menyimpan kepahitan terhadapnya, bukan seseorang yang tidak memiliki hati nurani.

Percakapan kami beku untuk beberapa saat. 

Sampai ibu berujar. "Jadi ..." Dia menatapku. "Kapan kau berencana memberitahu Mark?"

Aku diam dan secara otomatis tanganku ikut berhenti memotong wortel karena otakku hanya mampu fokus memikirkan pertanyaan ibuku, bahkan menarik napas pun aku tidak sanggup

Memberitahu Mark? Apakah kami benar-benar berbagi pikiran yang sama? Apakah yang dimaksud ibuku dengan memberitahu Mark adalah apa yang kupikir dia maksud?

"Jihoonie, kalian tidak bisa terus seperti ini.  Kau tidak bisa terus menyembunyikan ini dari Mark."

Ya. Memang itu yang ibu maksud.

Jadi beliau tidak pernah lupa siapa Choi Seungcheol namun sanggup memaafkan pria itu begitu saja?

Aku tahu, aku memang tidak bisa terus menyembunyikan ini dari Mark, tapi bungkam selalu menjadi hal termudah untuk kulakukan.

Ibu melanjutkan karena aku masih betah membisu. "Kau bisa bayangkan bagaimana rasanya itu? Tumbuh besar tanpa mengetahui siapa ayahnya, tanpa tahu bahwa dia mencintainya? Percaya bahwa orang itu tidak pernah ada padahal dia tepat berada di depannya? Kau tentu tidak mau Mark merasakan hal itu seumur hidupnya, bukan?"

Tentu tidak. Kenapa aku mau anakku merasakan hal yang demikian? Tapi ini juga tidak sesederhana itu.

Bagaimana perasaan Mark jika akhirnya bocah itu mengerti bahwa kehadirannya di dalam perutku adalah sebuah kesalahan? Bahwa dia tidak punya cerita pra-kelahiran yang indah tentang hal-hal romantis yang dilakukan kedua orang tuanya selama menunggu kehadirannya di dunia?

Aku juga tidak ingin Mark merasakan itu.

Demi Tuhan, kenapa ini tidak pernah sekali saja menjadi sedikit lebih mudah? Kenapa keputusan-keputasan yang kuambil dalam hidupku tidak pernah berupa pilihan ganda, ya atau tidak?

"Eomma ... Aku ... Aku ..."

Aku tidak tahu caranya, aku tidak tahu cara memberitahu semua kepada Mark tanpa sedikit saja menyakiti anakku.

aku takut.

aku takut berharap terlalu tinggi dengan ini. Dengan Seungcheol. Takut menyalah pahami setiap perbuatan yang pria itu lakukan, seperti saat kami remaja dulu. Takut terjerembab ke dalam harapan semu yang sama dan yang lebih buruknya lagi aku tidak pernah tahu seberapa dalam lubang itu hingga aku remuk di dasarnya.

"Masih tidak bisa mamaafkannya?" Ibu bertanya. Aku mengulas senyum getir. "Katakan padaku, apa kau menyesal memiliki Mark?"

"tidak!" Kata itu otomatis meluncur tanpa harus kupikirkan. "tentu saja tidak."

"Lalu kenapa kau masih tidak bisa memaafkan Seungcheol?"

Karena daripada amarah aku sadar betul bahwa perasaan ini lebih pantas disebut Kekecewaan.

Tapi aku tidak bisa mengatakannya karena jika ibu  kembali bertanya kenapa, aku lebih tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

"Eomma tidak marah padanya?" aku akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.

Ibuku menarik napas, dan terjawablah pertanyaanku. "tentu." Dia meletakan pisaunya, mengangkat kepala, menatapku kemudian melanjutkan. "saat pertama kali mendengar apa yang dia lakukan padamu, setiap kali aku melihatmu begitu putus asa, percayalah aku mengutuk Choi Seungcheol lebih banyak dari yang bisa kau bayangkan karena membuatku kehilangan putraku yang kukenal."

Ibu tersenyum dan meskipun mata itu tengah menatapku aku tahu pikirannya memandang jauh ke belakang, mengenang kembali masa-masa paling memprihatinkan dalam hidupku.

Hampir seperti tanpa sadar ibuku berkata. "kau hampir tidak pernah bicara. Tidak keluar rumah. Aku benar-benar ingat saat kau masih tinggal bersama Jeonghan, kau akan  akan selalu menghubungiku sambil menangis dan mengulang berbagai pertanyaan yang sama terus-menerus; bagaimana jika anakku tidak cukup sehat, bagaimana jika sesuatu terjadi saat persalinan, bagaimana jika aku tidak bisa membesarkannya, bagaimana jika aku tidak bisa merawatya dengan benar, bagaimana jika dia tidak bisa menyukaiku dan menerimaku sebagai orangtuanya." 

Lewat penuturan beliau, ibuku mentransfer semua kenangan itu kembali ke dalam kepalaku dan seketika akupun juga mengingat semuanya, moment yang rasa-rasanya baru terjadi beberapa bulan yang lalu alih-alih berlalu tujuh tahun yang lalu.

"Tapi lihatlah kau sekarang," Lanjut ibu dengan seulas senyum di wajah. "Lihat lah Mark. Apakah melihatnya masih mengingatkanmu pada rasa benci dan marah yang kau miliki untuk ayahnya?"

Ayahnya. Dadaku bergemuruh hanya karena mendengar satu kata itu.

Benar kah begitu? Benar kah aku tidak bisa mencintai Mark dan juga membenci Seungcheol atas apa yang telah dia perbuat pada malam itu secara bersamaan?

***

•́  ‿ ,•̀

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang