Twenty Four

482 69 32
                                    

Begitu alarm ku berbunyi pagi ini aku langsung bangun. Sejujurnya aku tidak bisa tidur. Sulit untuk terlelap saat yang ada dipikiranku hanya Seungcheol dan hari esok, saat akhirnya dia bertemu kedua orang tuaku.

Bukannya memaksa tubuhku untuk tertidur otakku sialnya justru mereka-reka adegan yang diperkirakan akan terjadi nanti saat kami pergi bersama, seperti duduk di dalam mobil Seungcheol, makan malam bersama di rumah orang tuaku, sarapan bersama, makan siang bersama, apapun bersama. 

Benar, otakku memang suka melebih-lebihkan seperti itu. 

Terus terang, aku bingung.

Baik, itu memang bukan suatu hal yang mengejutkan karena kalian mungkin sudah sering mendengarku mengatakannya, tapi sungguh aku bingung--tidak, aku gelisah dan kegelisahan ini sungguh membingungkan.

Aku ingat saat usiaku 13 tahun, seorang teman di kelas yang hampir tidak pernah bicara denganku mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Aku datang semata-mata karena ibuku bilang bahwa tidak sopan jika aku tidak datang. tapi sepanjang perjalanan aku terus berpikir bahwa aku seharusnya tidak datang ke sana karena rasanya tidak benar, dan satu perasaan yang menggeleyauti pikiranku itu lah yang membuatku ragu, yang mendorongku untuk kembali pulang ke rumah. 

Perasaan yang kurasakan setelah mengetahui bahwa Choi Seuncheol akan pergi bersama kami hampir seperti yang kurasakan saat itu. 

Perasaan gelisah yang meragukan kebenaran dari apa yang kulakukan. Namun kali ini aku tidak putar balik.

Hal tersulit dari mengajak Seungcheol nyatanya bukan masalah merelakan harga diriku, tapi mempertemukan pria itu dengan kedua orang tuaku.

Aku telah memberitahu ibu dan ayahku, menceritakan pada mereka secara singkat apa yang terjadi, dan bagaimana ceritanya sampai aku berinisiatif untuk mengajak pria itu menginap di rumah mereka.

Ibuku agak lebih bisa mengendalikan diri, ayahku di lain pihak bungkam seribu bahasa. Tidak ada satupun dari reaksi itu yang kusuka. Meskipun begitu mereka tidak mengatakan tidak semata-mata karena alasannya adalah Mark.

Entah aku harus bersyukur atau merutuk.

Sepertiku, Mark sepertinya juga kesulitan tidur tadi malam. Tapi dapat kupastikan bahwa alasannya tidak sama sepertiku. Mark terjaga oleh perasaan euforia, antusias menantikan perjalanan kami.

Bocah itu terus saja menguap saat sarapan tapi senyumnya tidak pernah luntur. Kepalanya bahkan hampir terantuk ke dalam mangkuk sereal jika aku tidak menahannya.

total sudah empat kali Mark hampir terjengkang jatuh karena tanpa sengaja tertidur. Aku sudah bilang bahwa dia bisa tidur dulu sembari menunggu Seungcheol datang tapi bocah itu menolak dan lebih memilih menonton Tom&Jerry sambil terantuk-antuk di ruang tamu.

"Papa, boleh aku menelpon paman Seungcheol?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ya. Tentu." Aku hendak mengeluarkan ponsel ketika Mark justru berjalan menuju bufet tv dimana telepon kabel kami diletakkan. "Pakai telepon rumah? Kau tahu nomornya?" tanyaku penasaran sebab nomor Seungcheol tidak kusertakan di buku telepon.

Mark tersenyum dan menunjukan card holder berisi kartu namaku yang sengaja kugantungkan di tas nya dengan inisiatif agar Mark lebih mudah jika ingin mengubungiku saat terjadi sesuatu dan aku tidak berada di sana, kemudian bocah itu menarik keluar kartu lain yang ternyata tersimpan disana bersama kartu namaku.

Kartu nama Seungcheol.

"Sekarang aku punya dua," katanya dengan kelewat bahagia, seolah kartu nama itu adalah harta karun yang baru dia temukan. Dan karena itu dadaku serasa digelitiki dan diremas secara bersamaan.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang