Twenty Nine

401 75 70
                                    

"oh, itu mereka sudah pulang." Dengan dagunya ibuku menunjuk ke arah gerbang.

Aku menoleh. Gerbang kayu yang hanya setinggi satu setengah meter itu membuat penghuni rumah dapat melihat kepala siapapun yang berjalan di depan, dan sekarang aku tengah melihat sosok Seungcheol berjalan dengan perlahan menuju rumah.

Aku menarik napas, berharap dengan itu semua keberanian dan kewarasan yang aku perlukan untuk menghadapi pria itu bisa terkumpul kembali.

Ketika gerbang itu terbuka suara Mark berseru. "kami pulang!"

"selamat datang," kataku.

Mark naik ke atas tilam dan duduk di sampingku. Dia melepas topi yang dia kenakan, mengibas-ngibaskannya di depan wajah kelelahannya yang dipenuhi peluh sebagai kipas. Sedangkan Choi seungcheol berdiri canggung di hadapan kami.

"hanya berdua? dimana kakek?" Tanya ibu, menjabarkan fakta yang baru kusadari bahwa ayahku tidak pulang bersama mereka.

"kakek sedang membantu kakek kim di rumahnya," pungkas Mark.

"pipanya pasti bocor lagi," Ibu bergumam, kembali memberitahuku.

"ada yang bisa kubantu?" 

Aku dan ibu mengangkat kepala, menatap Seungcheol dengan keterkejutan yang sama seolah kami berdua sama-sama tidak menduga bahwa pria itu tidak hanya akan berdiri diam di sini seperti pemeran ekstra.

kemudian secara bersamaan aku dan ibu berkata, 

"tidak."

"tentu."

Sayangnya untuk ini kami tidak bisa sepemikiran.

Aku menoleh pada ibuku, melayangkan tatapan tidak percaya padanya. Setelah pembicaraan yang dalam antara aku dan ibu --yang tentu saja-- mengenai pria ini tadi, aku tidak percaya wanita itu masih tidak juga mengerti akan secanggung apa jadinya jika dia membiarkan Seungcheol berada di dekatku, bahkan hanya mengetahui fakta bahwa pria ini ada di dekatku tanpa harus melihat sosoknya pun sudah membuat hatiku ketar-ketir. Dan, tidak kah usaha mati-matianku untuk mengindari hal itu cukup kentara?  

Namun ibu nyatanya punya alasan kuat untuk jawaban yang dia berikan tersebut. beliau memberitahuku sambil melotot mengancam. "kau akan mengerjakan semuanya sendiri dalam sepuluh menit atau apa?" Bungkamku membuatnya mengalihkan pandangan pada Seungcheol. Sambil tersenyum beliau menjelaskan, "tolong bantu cuci kerangnya ya. disitu saja."

Seungcheol benar-benar mengikuti instruksi ibu, jadi jika kalian berburuk sangka bahwa Seungcheol hanya berniat basa-basi dan tidak benar-benar ingin membantu, sepertiku, kalian salah. dia bawa sebaskom penuh tiram ke keran air yang ada di pekarangan dan mulai menyikati cangkaknya.

"ada semangka di dalam," aku memberitahu Mark.

Mark tidak tampak senang dengan fakta itu, malahan bocah itu sepertinya tidak mendengarkanku sama sekali, karena jika Mark benar-benar mendengarkan tidak mungkin dia mengabaikan, karena makan semangka selalu ada dalam list Hal-hal yang Harus Dilakukan di Musim Panas milik Mark.

Alih-alih bocah itu duduk diam, memakukan pandangan ke arah Seungcheol, mengamat-amati apa yang pria itu lakukan seolah sedang mempertimbangkan apakah mencuci kerang sama menyenangkannya seperti bermain pasir di pantai. 

Kemudian saat dia menoleh padaku, aku tahu kesimpulan apa yang telah Mark dapatkan. "papa aku juga bantu ya?"

Kalian tentu tahu bahwa tidak mudah bagiku untuk mengambil keputusan ketika Choi Seungcheol terpaut di dalamnya. Untuk beberapa saat mulutku hanya sanggup bergerak tanpa mampu mengeluarkan suara, seolah mulut dan otakku tidak bisa memutuskan siapa yang ingin mengambil alih.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang