fifthteen

576 93 41
                                    

Choi Seungcheol tidak bercanda saat memintaku mempertimbangkan permintaannya. Malahan, pria itu selalu memastikan bahwa aku akan atau sedang mempertimbangkannya. Dan, aku tidak bisa lebih frustasi dari ini.

ini bahkan belum genap 24 jam dari saat kami terkahir kali bertemu, namun ponselku sudah penuh  oleh notifikasi pesan singkatnya, dan beberapa panggilan yang, tentu saja, tidak pernah ku jawab.

Sepertinya Choi Seungcheol dengan pasti telah memutuskan untuk tidak pernah membuat hidupku tenang. Dari dokter profesinya berubah menjadi spammer  purna waktu.

Aku tahu dia melakukan itu murni untuk membuatku jengkel sebab atas dasar kepentingan apa dia memanggil namaku setiap lima menit sekali lewat pesan singkat?

Namanya tidak tertera, namun aku memang tidak menyimpan nomornya di kontak ku. Lagipula siapa yang mau melakukan hal setidak berguna itu hanya untuk menggangguku selain dia?

Jeonghan bahkan tidak bisa menjadi sekekanak-kanakan ini.

sungguh kegilaan yang mengesankan.

Setidaknya seperti janjinya kemarin, dia tidak menemui Mark secara diam-diam. Sudah ku pastikan itu ketika siang ini aku menjemput Mark dan melihat bocah itu keluar langsung dari gedung sekolah tepat ketika bel pulang berbunyi.

"Ponsel papa kenapa?" Tanya Mark siang ini di dalam mobil.

Dia menunjuk dengan heran dashboard mobil dimana ponselku yang layarnya berkedip-kedip karena notifikasi yang bertubi-tubi ku letakan.

"Tidak tahu," jawabku bohong seraya menonaktifkan benda itu.

Sekarang Mark sudah terlelap di atas tempat tidurnya, menunaikan tidur siang setelah gagal menemukan suatu hal menarik untuk dilakukan (Ingatkan aku agar membelikannya buku bacaan baru), namun aku masih belum berani menghidupkan ponselku lagi, takut membaca namaku sendiri.

Aku hanya perlu memblokirnya, bukan? Tapi aku justru takut dengan apa yang akan Seungcheol lakukan untuk terus bisa terhubung dengan ku--dengan Mark-- karena usaha yang terakhir kali dia lakukan telah menyebabkan anakku masuk rumah sakit. Padahal aku tahu Choi Seungcheol tidak akan berhenti hanya karena aku memblokir nomornya.

Jika aku terpaksa harus mengibaratkan, berurusan dengan Choi Seungcheol seperti memakan kue keberuntungan. Aku tidak pernah tahu kesialan atau keberuntungan yang akan aku dapatkan. Seperti aku tidak pernah tahu apa yang Seungcheol lakukan.

Seungcheol bisa menjadi begitu baik hingga terkesan tolol. Bisa menjadi tolol hingga terkesan benar-benar tolol. Dia juga bisa menjadi begitu ... Tidak terkontrol.

Waktu enam tahun mungkin telah merubahnya, namun menelisik dari apa yang telah dia perbuat kepadaku akhir-akhir ini, aku khawatir perubahan itu bukan lah suatu hal yang bagus.

Bahkan sekarang, aku sudah mulai khawatir dengan apa yang akan Seungcheol lakukan jika aku menonaktifkan ponselku lebih lama lagi.

Se-nekad apa pria itu bisa bertindak? Akankah dia--

Ting Tong!

Aku terlonjak. Menjatuhkan ponselku ke kitchen island dengan bunyi bergemeletak dan menghantamkan lutut ku ke sudut meja granit yang membuatku memekik kesakitan.

Setelah semua yang terjadi tiba-tiba saja bel rumah terdengar begitu menakutkan di telingaku.

Jantungku berdebar dengan gila hanya karena satu suara itu.

Terbersit keinginan untuk mengabaikannya, namun ketika kudengar suara Yoon Jeonghan dari interkom, aku merasakan sengatan kelegaan.

"Jihoon, Mark, ini aku."

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang