Fifty

581 76 77
                                    

Aku sudah mengatakannya pada Seungcheol, bahwa mengunjungi orang tuaku mungkin bukan hal yang paling bijak untuk dilakukan, baginya, bagi kami bertiga.

Tapi yang Seungcheol lakukan justru membuatku tambah yakin akan fakta bahwa tidak ada sesuatu atau seseorang pun yang bisa menahan pria itu mendapatkan apa yang dia kehendaki.

Aku tidak tahu apa yang membuat Seungcheol berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kalaupun ayahku, entah bagaimana, sudah mampu memaafkannya, aku tetap digelayuti perasaan cemas dan penasaran akan tujuan sebenarnya Seungcheol mengajak aku dan Mark berkunjung ke rumah orang tuaku, di sabtu pagi yang cerah tanpa agenda tertentu.

Sebab kami tidak dapat merayakan chuseok bersama, Seungcheol berpikir untuk mengganti hari ini. Itu lah alasan yang dia berikan padaku, dan kepadaku ibuku ketika Seungcheol menelepon beliau.

Benar, Seungcheol memiliki nomor ibuku. Tanpa sepengetahuan ku. Dan, tanpa sepengetahuan ku pula, dia menghubungi beliau, merencanakan hal yang sebelumnya tidak dia bicarakan dulu denganku. Bahkan aku tidak akan pernah tahu perihal rencananya ini jika ibuku tidak menelpon ku satu hari sebelumnya dan menanyakan apakah besok kami jadi datang ke rumah, yang hanya kujawab dengan satu kata singkat: Hah?

Aku menginterogasi Seungcheol setelahnya, barulah pria itu menjelaskan segalanya seraya meminta maaf. Namun tetap saja, cengiran tersungging di wajahnya.

Sejak dia muncul di depan apartemen ku pagi ini untuk menjemput aku dan Mark, hingga sekarang kami telah menempuh setengah jam perjalanan dengan mobilnya, aku belum mengatakan apapun padanya kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan dia berikan dengan singkat.

"Jihoon..." Panggil Seungcheol yang mana tidak ku gubris.
"Masih marah, ya?" Dia melirik ku sekilas sebelum pandangannya kembali menyapu jalanan di depan.

Aku bukannya marah karena dia ingin menemui orang tuaku--daripada marah, itu lebih-lebih membuat ku cemas. Yang membuat tidak bisa menerima kelakuannya adalah karena dia menyembunyikan itu semua dariku.

"Hyung bahkan tidak akan memberitahuku jika aku tidak bertanya, kan?" Tanyaku setengah bergumam.

"Aku mau mengejutkanmu."

"Aku tidak mau dikejutkan." Terlebih oleh hal-hal seperti ini.

Kukira aku sudah membuat fakta itu nampak jelas sedari dulu, namun ketika mendengar jawabanku, mata Seungcheol tetap melebar sepersekian detik seolah dia tidak menduga aku akan bereaksi demikian.

"Maaf. Maafkan aku." Dia berujar sambil meremas lembut tanganku yang bertengger di atas paha. "Kumohon, jangan marah." Tangannya kini mengusap satu sisi wajahku. "Maaf." Ujarnya sekali lagi.

Aku berkelit, membuang muka ke jendela ketika dia mencubit pipiku.

Seungcheol meringis, pandangan masih ke depan. Lantas dia melirik ke arah kaca tengah sebentar untuk memperhatikan Mark yang tengah tertidur sambil memeluk sebungkus besar keripik kentang yang tadi bocah itu nikmati sebelum matanya menyerah terbuka.

Ketika matanya beralih padaku senyum Seungcheol luntur. Dia tiba-tiba tampak merasa bersalah. "Katakan sesuatu," Dia berkata. Aku bisa mendengar keputus asaan dalam suaranya. "Katakan apa yang bisa kulakukan agar kau memaafkan aku."

"Diam." Tidak seperti yang kuinginkan, jawaban itu terdengar begitu ketus.

Seungcheol mengangguk, tidak protes. Dalam diam dia kembali memusatkan perhatian pada jalanan.

Kami sudah dekat. Seungcheol melambatkan laju mobil sekarang, membiarkan pemandangan berupa pepohonan dan deretan rumah-rumah sederhana lewat perlahan di jendela. Jantungku semakin berdebar kencang mengetahui bahwa kami hampir sampai.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang