Fourteen

564 94 45
                                    

Aku hanya mampu mematung bak orang tolol di ambang pintu rumahku sendiri. Termenung menatap sosok di hadapanku di tengah upaya otakku dalam mencerna transisi yang terjadi secara tiba-tiba ini.

Menemukan dia saat aku tengah menikmati waktu bersama Mark seperti terjatuh dari ayunan saat aku tengah asyik melambung tinggi, terlalu terkejut untuk merasa sakit. Dalam hal ini aku terlalu terkejut untuk memberikan respon. Membanting pintu tertutup terdengar seperti pilihan terbaik, namun aku hanya mampu berdiri di sana entah untuk berapa lama.

Untuk suatu alasan yang tidak ku ketahui Choi Seungcheol juga tidak bertindak. Kami berdua bak berada di dalam sebuah kotak pendingin. Membeku dalam kecanggungan.

"Papa?" Suara Mark dan derap langkah kaki yang kemudian terdengar itu memecahkan balok es di antara kami.

Secara impulsif ku putuskan untuk mengambil satu langkah cepat yang bisa otakku pikirkan, yaitu mendorong pintu tertutup, sebab hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat Mark melihat sosok ini di depan rumah kami.

Choi Seungcheol di lain pihak, tentu saja, tidak membuat ini menjadi mudah. Dengan kecepatan yang mengejutkan dia mendorong pintuku terbuka sebelum aku bahkan sempat menutupnya setengah, seolah sudah mengantisipasi bahwa aku akan melakukan itu, seolah dia bisa membaca pikiranku.

Pintu menjeblak menampar dinding dengan bunyi yang keras. Aku berjingkat mundur, terkejut. Bersamaan dengan itu Ace menyalak galak, merasa terganggu dengan ketidaksopanan tamu tak diundang kami.

"Papa ada apa?"

Aku menoleh. Mark berdiri beberapa langkah di belakangku, bingung, cemas dan tampak sedikit guratan ketakutan di wajah mungilnya. Suara pintu yang dibanting dan gonggongan Ace pasti membuatnya terkejut.

Aku hanya bisa berharap bahwa tubuhku dan sempitnya ruang masuk sudah cukup untuk menutupi sosok Seungcheol dari pandangannya.

"Jihoon, kumohon, biarkan aku bertemu dengannya," Seungcheol berbisik, cukup keras untuk kudengar. tangannya masih senantiasa menahan pintu.

Aku menoleh pada Mark. "Tidak ada apa-apa. Masuk ke kamar, Mark. Papa mohon," pintaku. "Bawa Ace bersama mu."

Ace berputar dan kembali menyalak, mungkin jika dia adalah manusia ekspresinya pasti tidak akan berbeda dari Mark yang sekarang tengah menatapku kecewa.

Tapi aku terpaksa harus melakukan itu, atau jika tidak segerombolan tetangga akan mengadu tentang kegaduhan yang retriever itu buat.

Padahal aku tidak mau menambah daftar masalah.

Mark juga harus mengerti kalau dia tidak semestinya berada di tengah-tengah kami seperti ini, atau jika tidak aku tidak lagi tahu apa yang harus kuperbuat.

Kucoba sekuat tenaga berargumen dengannya tanpa mengeluarkan suara, akhirnya bocah itu berbalik menuju kamarnya, membawa serta Ace.

Dan sekarang aku tidak yakin itu sebuah pilihan yang bagus karena sekarang di sini lah aku, sendirian berhadapan dengan Choi Seungcheol.

Aku bisa saja menelpon bagian keamanan. Tapi apa yang akan kukatakan? Kenapa? Karena aku menjadi begitu paranoid sebab ayah dari anakku yang tidak pernah muncul selama hampir 7 tahun tiba-tiba datang dan ingin menemui anakku? Karena semua hal tidak terjadi sesuai ekspektasi ku? Karena aku takut dengan perasaan aneh yang menggelenyar di dada setiap aku melihatnya? Perasaan yang sialnya terasa begitu familiar.

"Biarkan aku bertemu dengannya," ujar Seungcheol, sekarang dia tidak repot-repot berbisik.

"Kenapa?" Aku bertanya.

Seungcheol menatapku seolah pertanyaan ku adalah hal terkonyol yang pernah dia dengar. "Karena dia anakku," jawabnya. "Bagaimana bisa kau berpikir bahwa aku tidak ingin menemuinya."

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang