Fifty Five

512 69 67
                                    

Aku bangun terlalu dini. Seberkas cahaya lembut matahari pagi merembes melewati korden, menyorot wajah Seungcheol yang terlelap di sampingku, dan menghangatkan kulit punggungku yang terbuka. Dari jarak ini, aku rasa-rasanya bisa menghitung bulu mata Seungcheol.

Mula-mula, aku tidak ingin bergerak, tidak ingin merubah apapun, tak peduli betapa pun kecilnya. Aku merasa nyaman begini, meskipun lengannya yang memeluk pinganggku lama kelamaan terasa berat.

Satu-satunya suara hanyalah embusan napas kami dan suara detak jantungku. Satu lengan Seungcheol merengkuhku, sedangkan satunya lagi menelusup di bawah bantalnya. Malas-malasan aku mengenang betapa kecewa dan marahnya aku pada pria itu. Semua perasaan sesal dan marah itu terasa konyol sekarang.

Ternyata semua lebih simpel daripada yang aku kira. Hanya dengan mendapati diriku berbaring seperti ini di sampingnya, semuanya terasa begitu tepat, aku merasa penuh, merasa lengkap, seperti gambar puzzle yang telah tersusun komplit, tidak ada lagi kepingan yang hilang atau bagian yang tidak terisi. Semua penuh. Aku merasa penuh.

Setelah beberapa saat ku putuskan untuk bergerak. Ku tumpukan kepalaku di atas tangan agar dapat melihat Seungcheol dengan lebih mudah.

Seungcheol menggeliat ketika aku meniup wajahnya, namun dia tetap belum bangun. Ku gerakan telunjuk ku menyusuri hidungnya.

Ini terasa hampir seperti bukan kenyataan. Tapi disini lah Seungcheol, sama nyatanya seperti kehadiran ku sendiri. Dapat ku gapai dan sentuh dengan begitu mudah.

Ku hitung berapa tepatnya waktu yang kumiliki bersamanya. Dua... Tiga jam?

Hanya tiga jam.

Namun angka itu tidak lebih menganggu ku daripada fakta bahwa aku tidak tahu berapa lama waktu yang akan kujalani tanpa kehadirannya.

Seungcheol bilang dia akan pulang sebelum malam tahun baru, dan berjanji bahwa kami akan merayakan malam tahun baru bersama, "itu akan menjadi pesta malam tahun baru terbaik," begitu janjinya.

Aku memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun terlambat, aku akhirnya sadar bahwa Seungcheol tidak melulu harus membuktikan segalanya. Terkadang, aku hanya harus percaya: percaya bahwa dia akan kembali, percaya bahwa segalanya sudah benar dan akan baik-baik saja.

"Bangun." Aku berbisik, lantas meniupkan nafas lagi ke mukanya. "Hyung, bangun."

Seungcheol mengerutkan alis, tanda bahwa tidurnya yang nyenyak telah ku ganggu. Dia mengerang dalam tidur.

Aku tahu dia sudah bangun, atau setidaknya, kesadarannya telah bangun, sebab dia meregangkan tubuh, walaupun matanya masih belum terbuka. Tangannya yang melingkar di pinggangku menarik tubuhku untuk merapatkan tubuh kami lebih dekat lagi hingga sekarang wajahnya tenggelam dalam dadaku. Kakinya ditumpangkan di atas kakiku, mudahnya, dia mengunci tubuhku. Kami meringkuk bak bayi kembar di dalam kandungan.

Matanya perlahan terbuka dengan kerjapan-kerjapan panjang untuk menghapus kantuk. Kemudian dia memandangku dan senyum merekah di wajahnya. Rasanya tidak masuk akal setiap kali dia memandangku seperti itu. Seolah-olah aku ini kado natal atau semacamnya.

Jariku bergerak menyisir surai hitamnya yang lebat ke belakang dan Seungcheol memejamkan matanya kembali. "Hei, kau harus berangkat ke bandara jam delapan. Ingat?" Aku mengingatkan.

"Sungguh?" Seungcheol terdengar terkejut.

"Ya," Jawabku.

"Kenapa?" Seungcheol membuka matanya lagi sekarang. Dia mendongak dan menatapku dengan tanda tanya besar di wajah.

Kebingungannya nampak tidak dibuat-buat, namun aku tetap memutar bola mata. Aku tidak menjawab, kubiarkan waktu-waktu berlalu dengan Seungcheol yang bertanya-tanya sendirian.

What If? (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang