APOLOGY 1

5.6K 697 42
                                    

Happy reading Love 💕


"Ibuk," teriakan gadis kecil yang baru keluar dari kelas itu, membuatku tak bisa menyembunyikan senyumku.
Dia melambaikan tangannya sembari berlari kecil.
Rambutnya dikuncir dua, dengan dua jepitan warna kuning senada dengan seragam yang dia pakai membuatnya kian terlihat cantik.

"Ibuk,"dia menghambur kepelukanku dengan pekikan riang. Aku refleks ikut tertawa karena dia kemudian mencium pipiku, "Shasa kangen Ibuk," lanjutnya ketika aku mengangkatnya kegendonganku.

Ibu, juga kangen Shasa.

Miss Rima yang berjalan menyusul Shasa, langsung tersenyum saat aku mengangguk menaruh hormat padanya.

"Ibu berapa kali bilang ke Shasa, jangan lari kalau keluar kelas, kasihan Miss Rima harus ikutan lari biar Shasa nggak jatuh."

Aku tak tahu bagaimana reaksi Shasa, sebab kepalanya langsung bersembunyi dibalik tengkuk leherku. "Miss Rima, maafkan puteri saya, ya."

"Tidak apa-apa, Bu. Mayesha selalu ceria kalau dijemput sama keluarganya. Saya jadi senang lihatnya."

Benar kata Miss Rima, Mayesha Haftama tumbuh menjadi sosok anak yang periang dan ceria. Selain itu, dia selalu bersikap sopan dengan orang yang lebih tua. Semua itu pasti karena didikan Bunda dan Oma-nya.

Aku tak tahu bagaimana Shasa jika hari itu aku tak mengenal Mbak Hani -Bundanya Shasa- di dalam gerbong kereta yang akan membawaku ke Jogja.
Kota yang kupilih, padahal aku tidak punya tujuan tempat tinggal.

Malam itu, aku dijemput oleh salah satu supir suruhan tante Ajeng. Aku yang kebingungan mencari tempat tinggal, terpaksa harus menginap di rumah salah satu pacar sahabat Bara yang menawariku tempat tinggal.
Sebab rumah yang kutempati tiba-tiba dilelang oleh Bank, padahal setahuku Ibu tak pernah berhutang dengan mengadaikan surat rumah.

Alih-alih ke klinik aborsi, aku meminta diantarkan ke stasiun saja. Uang yang tadinya diberikan tante Ajeng untuk keperluanku, kukembalikan lewat supir tanpa kuambil sedikitpun.

Aku masih berpikir waras untuk tidak menggunakan uang itu, terlebih menurutinya mengugurkan kandungan.
Tidak masalah untuk hidup sendiri, karena aku tak butuh lelaki pengecut seperti Bara. Sebalum menyetujuhi Shasa diasuh oleh Mbak Hani, aku sudah memikirkan segala konsekuensinya, termasuk tinggal terpisah dengan putriku. Beruntungnya Mbak Hani tidak membatasi pertemuan kami.
Jika aku libur kerja Shasa boleh menginap di rumahku.

Kebaikannya tidak hanya sampai disitu, sembari kuliah aku diijinkan untuk membantu Mami -Ibu mbak Hani- untuk bekerja di sanggar riasnya.

"Ibuk, ayo kita pulang," ucapan Shasa seketika membuatku tersadar dari lamunan. Aku bergegas pamitan pada Miss Rima, lalu, membawa Shasa yang berada di gendonganku untuk menuju mobil.

Selesai memakaikannya safetybelt, aku memutar perseneling untuk membawa Shasa pulang kerumahku. Rumah yang kucicil sejak dua tahun yang lalu dengan susah payah.

"Ibuk sudah selesai sibuknya, iya?"

"Sudah dong."

"Berarti Shasa malam ini boboknya sama Ibuk, Iya?"

Saat aku menoleh pada Shasa, di ternyata sedang melihatku dengan wajah cemas, sehingga membuatku seketika mengusap kepalanya sembari tersenyum, "Shasa mau menginap di rumah, Ibuk?"

Mata kecilnya berkedip dua kali kemudian mengangguk, "Iya, Shasa kangen boboknya dipeluk, Ibuk."

Kalau sudah begini, aku semakin merasa bersalah. Masa-masa sulit yang harus kami hadapi, membuat kami tak bisa menjalani kehidupan sebagai keluarga seperti yang lainnya. Shasa beruntung, dia dibesarkan dilingkungan yang baik dan menyayangi dia tanpa batas. Terlebih Shasa dianggap cucu pertama di keluarga besar Atma Perwira karena Mbak Hani sudah tujuh tahun menikah tapi belum juga dikaruniai anak.

"Nanti Ibu telepon Bunda, minta ijin Shasa menginap di rumah Ibu hari ini, ya."

"Yey, terima kasih, Ibuk." wajah yang tadinya penuh khawatir itu berubah menjadi ceria lagi, hingga sepanjang jalan pulang Shasa tak hentinya bernyanyi, lalu, sesekali mengajukan pertanyaan ketika melihat sesuatu sepanjang jalan.

***

Sesampainya di rumah, aku langsung menganti baju seragam Shasa dan menyuruhnya menunggu selagi aku memasak di dapur.
Dia sempat meminta diputarkan kartun lewat ponsel sembari duduk menemaniku di bangku dapur.

"Ibuk, Papa Lucas telepon."

Panggilan Shasa membuatku menoleh kemudian kembali mencuci sayuran yang hendak kumasak untuk Shasa, "tolong Shasa yang angkat," ucapku sambil menoleh pada Shasa lagi, "Ibu selesaikan cuci sayuran ini dulu. Bisa, Sha?"

"Bisa, Ibuk." jawabnya kemudian mengeser layar ponsel.

"Assalamualaikum, Papa."

"...."

"Iya, ini Shasa. Ibuknya lagi masak-masakan."

"....."

"Mau, Shasa mau, Pa."

Aku langsung mengeringkan tangan saat mendengar suara antusias Shasa.

"Ibuk, kata Papa, besok Papa pulang. Shasa mau dibelikan boneka frozen lagi, Iya, kan, Pa?" masih dengan ponsel menempel ditelinga, Shasa kembali bertanya pada Mas Lucas.

"Bilang apa sama Papa?" aku membelai kepala Shasa, lalu, duduk disampingnya, "terima kasih, Papa."

Aku menerima ponsel yang disodorkan Shasa dan langsung menyapa Mas Lucas.

Mas Lucas ini adalah adik kandung Mbak Hani, Shasa biasa memanggilnya dengan sebutan Papa, sama seperti dia memanggil Mas Tama -papa angkatnya-.

Lucas Febrian Perwira, Lelaki keturunan jawa eropa yang membuatku akhirnya maklum kenapa Papi menamainya Lucas sebagai nama panggilannya.

"Besok Mas pulang, kamu mau dibawain apa dari palembang?"

"Nggak usah repot. Mas kembali ke sini dengan selamat itu udah lebih dari cukup. Lagi pula, lemariku nggak cukup lagi buat nampung hadiah."

Aku mendengar suara kekehan dari sebrang sana, hingga beberapa detik kemudian dia kembali berkata, "Kali ini hadiahnya jangan ditaruh lemari."

"Terus?"

"Dipakai, dong, Rin."

"Memangnya apa?"

"Rahasia. Besok aku jemput jam tujuh malam."

Kedua alisku terasa naik mendengar ucapan Mas Lucas, Kenapa tiba-tiba dia aneh?








Lucas Febrian Permana

Lucas Febrian Permana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*maaf untuk typo


Love
Rum

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang